Pagi berikutnya, warga desa gempar. Aira tidak pulang semalaman. Orang tuanya melapor ke kepala desa, dan sekelompok warga pun dikumpulkan untuk mencarinya. Mereka memasuki hutan dengan senter dan alat seadanya, berteriak memanggil namanya. Namun, hanya gema suara mereka yang menjawab.
Di tengah pencarian, salah satu warga menemukan jaket merah Aira tersangkut di dahan pohon tua. Tidak jauh dari sana, ada jejak kaki yang aneh. Seperti milik Aira, tapi lebih dalam, seolah ada sesuatu yang menyeretnya.
Saat malam tiba, sebagian warga kembali ke desa, kecuali seorang pria tua bernama Pak Rahmat. Ia berkata bahwa ia pernah kehilangan adiknya di hutan yang sama, bertahun-tahun lalu. Dengan senter di tangan, ia berjalan lebih dalam. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu di balik semak-semak: Aira, duduk diam dengan mata kosong. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak ada suara yang keluar.
Ketika Pak Rahmat mendekat, Aira perlahan mengangkat tangannya, menunjuk ke sesuatu di belakangnya. Pak Rahmat menoleh—dan apa yang ia lihat membuat darahnya membeku. Sosok tinggi dengan tubuh kurus kering, matanya kosong dan hitam pekat, berdiri diam menatapnya. Makhluk itu tidak bergerak, tapi tiba-tiba suara-suara bisikan mulai memenuhi udara.
Pak Rahmat berlari sekuat tenaga, meninggalkan Aira. Sesampainya di desa, ia gemetar, menceritakan apa yang ia lihat. Sejak malam itu, tak ada lagi yang berani mencari Aira. Ia hilang begitu saja, seperti yang lain sebelum dirinya. Namun, sesekali, saat malam tiba, beberapa warga mengaku melihat sosok gadis berjaket merah berdiri di tepi hutan, menatap ke arah desa dengan senyum yang tidak seharusnya ada di wajah manusia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar