Alfi Nur S
Bunyi rintik hujan di genteng bersahutan dengan bunyi Guntur yang menyambar-nyambar. Daun-daun menari bergesekan tertiup angin. Rerumputan meringkuk dalam basah. Air berlarian masuk selokan bersama daun-daun kering, ranting-ranting patah dan sampah. Dua sepasang insan duduk membisu di sebuah caffe favorit keduanya. Gadis berparas ayu lengkap dengan alis tebalnya tampak sibuk menghabiskan makanan yang baru saja ia pesan. Sementara laki-laki disampingnya sedari tadi enggan mengalihkan pandangan ke arah kekasihnya sembari memikirkan pertanyaan yang dikira pantas sebagai pembuka atas kebisuan yang kekasihnya suguhkan.
"Mari.." Belum sempat ia meneruskan panggilannya gadis itu begitu gesit menjawab.
"Aku udah selesai. Pulang yuk!" meraih tisu lalu beranjak dari tempat duduknya. laki-laki berambut gondrong itu tercengang menatap punggung kekasihnya yang berjilbab rapi senada dengan warna baju yang ia kenakan enyah meninggalkan dirinya. Namun karena tak ingin larut dalam kebingungannya, ia segera menghampiri kasir menyodorkan uang dan berlari menuruti jejak gadis yang akrab disapa Mariya.
Di sebuah parkiran laki-laki dengan setelan jaket dan celana jins ala rocker mencoba merebut helm dari tangan Mariya dengan tatapan ambigu.
"Biarkan hujan sedikit mereda Mariya.." tegurnya lembut
Lalu apa gunanya jas hujan di jok sepeda mu?" jawab Mariya dengan melemparkan pertanyaan yang tiada jawaban dari Yuda selain hanya menuruti perkataannya.
Selama menyetir Yuda masih membawa pikirannya memikirkan kebisuan orang dibelakangnya. Sampai pada akhirnya ia memutuskan membawa motornya melaju pesat melewati arah ke kosan Mariya.
"Yud berhenti!." Protes Mariya beberapa kali sembari mengelap wajahnya dari tetesan hujan. Namun Yuda sama sekali tak menghiraukan perkataan Mariya. Ia lebih memilih fokus menerjang derasnya hujan hingga berhenti disalah satu halte bis yang jaraknya 6 km dari kosan Mariya.
"Seharusnya kamu dong yang berhenti duluan!" Balas Yuda.
"Jadi cowok peka dikitlah" Tukas Mariya tak tertahan
Sekejap mereka bersitatap. Tak peduli hujan sore jelang petang itu, sesegera mungkin dia melepas helm lengkap dengan jas hujan di kenakan. Sementara Yuda sibuk memperhatikan wajah sendu Mariya. Lagi-lagi tangannya ingin menyentuh untuk menahan. Namun melepaskannya itulah yang menjadi kenyataannya. Yuda paham apa yang akan dilakukan kekasihnya. Hanya berjarak 5 detik, firasat Yuda terwujud. Kekasihnya melambaikan tangan teruntuk sebuah kendaraan roda empat yang hend ak melaju menghampirinya.
"Apa karena aku pakai baju rocker acak adul dan kamu dengan setelan gamis itu menjadi penyebab kesenduanmu?" Kemarahan Mariya sudah tak bisa dibendung. Meski sekencang apapun Yuda melontarkan pertanyaannya itu akan menjadi sia-sia. Mariya tak akan mengurungkan niatnya membiarkan kendaraan umum melintas melewatinya demi membalas pertanyaan Yuda.
Enam bulan sudah semenjak berakhirnya ia dengan Yuda. Kini ia mulai tersandung asmara untuk kesekian kalinya berkat salah satu kerabat yang mengenalkannya. Darma namanya. Mahasiswa jurusan sastra di salah satu Universitas terkenal di Yogyakarta. Sejatinya Mariya adalah typical gadis pencinta puisi yang tidak mudah jatuh hati. Banyak laki-laki yang mendekati dirinya. Namun dia tidak bisa jua mendekat ketika bukan dia yang mulai sendiri aroma wanginya cinta. Selain memang selaranya, Mariya kembali dipertemukan dengan lelaki dari kalangan penikmat seni dan berambut gondrong. Namun tak kalah manis dari sebelumnya. Malam ini mereka bertemu. Demi gelora kerinduan dan atas nama hubungan mereka. Persis di salah satu tempat dan meja kali pertama mereka menjabat tangan dan melempar senyum.
Mariya yang duduk dihadapannya reflex menolehkan wajah kesembarang arah. Wajahnya ketahuan memerah. Demi segalanya, mendadak gadis ayu bermata tajam dan beralis tebal tertata itu sungguh salah tingkah.
"Aku punya sesuatu buat kamu." Pelan-pelan Darma merogoh cincin dari saku celananya. Darma bercerita jika Cincin bertuliskan nama di dirinya itu ia peroleh ketika masih mengenyam bangku SMP.
"Kenapa dikasih ke aku? Udah nggak suka ya. " Membolak-balikkan benda kecil itu.
"Justru berharga malah. Tapi cincin itu akan jauh lebih cantik jika dipakai di jari manismu sayang" Darma tersenyum menatap berbinar-binar. Gadis itu terlihat cantik. Mengenakan jilbab pashmina warna merah muda.
Bagai sebatang besi merah-membara yang dicelupkan kedalam air dingin, hati Mariya mendesis. Lagi-lagi pipinya berubah menjadi pink kemerah-merahan. Ia menggigit bibir. Degupnya mengencang. Sialan. Senyumnya tau saja cara berselip diantara satu degup ke degup lainnya. Pikirnya. Karena tidak kuasa bersitatap dengan wajah manisnya Tak segan-segan Mariya bertingkah manja dengan menyuruh Darma untuk memakaikan cincin di jari paling manis miliknya.
Rupanya mereka tergelayut oleh ke elokan cahaya rembulan malam itu. Meskipun sebenarnya tanpa dibuat-buat mereka sama-sama terjangkit flu, obrolan tetap berlanjut Hingga perjumpaan mereka berakhir persis di arah jarum kecil jam 01.00. Ketika si pemilik caffe menyuruh dengan bijaksana untuk kembali lagi besok pada jam yang telah ditentukan.
Kejadian itu benar-benar membuat Mariya nyengir sendiri. Menggigit ujung-ujung bantal. bertingkah aneh. Seolah langit-langit kamar sempurna dipenuhi oleh gurat mukanya.
Larut malam ia baru tertidur (sambil tersenyum).
Dan saat terbangun esok, yang pertama kali dipikirkannya apalagi kalau bukan si pujaan hatinya. Senyumnya tambah mengembang ketika mendapati telepon dari si Dia.
"Sayang, aku nggak jadi pulang hari ini" Suaranya terdengar lemah. Darma sakit. Entah itu kabar bahagia atau sedih. Namun yang membuat Mariya terheran adalah mengapa demam yang dialami Darma sama dengan dirinya kini. Ah, ini hanyalah sebuah kebetulan pikirnya. Lalu kembali menyimak cerita Darma yang kemudian kabur entah kemana.
Dua hari berlalu, mariya memakai jaket untuk ke dua kalinya. Memeluk erat boneka dan meraih selimut tebalnya. Tubuhnya menggigil. Tiba-tiba ponselnya berdering tanda satu pesan masuk. Mariya berusaha membukanya dengan memicingkan mata tajamnya.
"Aku nanti pulang, kamu nggak punya cita-cita untuk nganterin aku?" Ucap Darma melalui pesan singkat.
Dengan berat hati Mariya membalas dengan singkat kata iya. Tak sengaja ponselnya tergelincir dari tangannya. Ia kembali menarik selimut dan hanyut dalam demamnya.
Malam beranjak datang. Sabit menghias angkasa. Awan seperti sabut kelapa berserakan memenuhi langit. Membuat suasana terlihat senyap. Dengan sekuat tenaga Mariya beranjak dari tidurnya. Memaksa mengayunkan langkahnya ke kamar mandi. Setelah itu ia sibuk memilih jilbab yang pantas dengan baju biru langitnya.
Dalam perjalanan ke caffe si Doi, Mariya berbenak. Semoga bisnya datang terlambat. Dengan harapan seperti itu sehendaknya ia punya imbalan untuk memiliki waktu berbicara dengan kekasih hatinya. Namun kenyataannya berbalik, benak Mariya tak direstui. Langit mendadak semakin gelap. Awan tebal berarak-arak menutupi gemintang. Bis bertulisan Yogyakarta siap menanti kehadiran Darma.
"Bisnya udah dateng, aku masuk ya, kamu hati-hati pulangnya" Berjabat tangan. Kamudian beranjak memasuki bis. Mariya masih terkejut. Bahkan ia telat mengiyakan jawaban Darma ketika telah masuk bis. Diluar ia mengamati gerak-gerik pujaan hatinya yang kemudian memilih duduk persis dekat candela. Mariya tersadar bahwa seharusnya ia mengatakan sebagaimana biasa dilakukan untuk orang yang hendak bepergian. Hati-hati. Melambaikan tangannya. Sementara laki-laki berambut gondrong dibalik kaca bis hanya tersenyum sederhana kearahnya. Kepergian bis itu semakin membuatnya lemas dan sesak. Ia terus menatap pantat bis yang ditumpangi oleh Darma hingga tak bisa dijangkau lagi oleh mata.
Seperti biasanya Mariya menjalankan aktifitasnya sebagai mahasiswa dan segenab kesibukannya di berbagai organisasi yang ia follow. Begitu juga hubungannya dengan Darma juga masih berlanjut. Meski hanya lewat via ponsel. Bahkan Darma sering membuat hati Mariya mekar tak karuan lantaran kepuitisan dan syair-syair indah yang dilantunkan oleh Darma. Ya begitulah, suaranya memang merdu, maka tak heran jika dirinya menjadi penyanyi caffe dan berbagai undangan lainnya. Teringat lagu "aku disini dan kau disana hanya memandang langit yang sama" yang dinyanyikan oleh RAN dan sempat popular kala itu. Dua bulan lebih Mariya dan Darma betah menjalin hubungan Long Distance Relationship atau lebih popular disingkat jadi LDR.
Ketika buih-buih asmara telah mengalir kedalam dua hati yang menyatu, maka gugurlah istilah kata pacaran untuk meresmikan sebuah hubungan mereka. Inilah gaya pacaran keduanya. Tanpa adanya akad untuk menjelaskan apakah mereka memiliki status pacaran. Lantas tak heran jika Mariya bebas mengekspresikan dengan siapa ia bergaul dan kepada siapa ia membalas chattingan.
Seminggu ini aku sama sekali tak mendengar kabar darinya. Aku sibuk menebak-nebak. Buncah oleh berbagai pertanyaan. Khawatir oleh sebuah duga di hati. Mengapa dia tak sempat melirik chatt ku.
Darmaku ayolah
Pikiranku semakin gersang. Dan lebih menyedihkan lagi ketika aku sedang membuka akun Instagram. Aku melihat instagram Darma online. Tentu itu menjadi tanda Tanya besar. Bosankah Darma dengan Aku?. Dan yang lebih menggelikan lagi ketika keesokan harinya aku memergoki nama akun Instagram miliknya berada di kolom komentar unggahan photo perempuan dengan balutan pakaian yang kurang pantas.
Oh Tuhan, diakah Darmaku.
Angin dingin menerpa tubuhku. Kerinduan merasuk ke pori-poriku. Aku tak yakin. Aku tergugu. Bahasa komentarnya tak kukenali. Namun itulah kenyataannya. Aku teringat jalinan hubunganku dengan Yuda. Laki-laki yang sempat memperkenalkan ku kepada kedua orang tuanya, hobi mabuk-mabuk an, dan dia yang selalu aku ingatkan sholatnya. Lalu kemudian memblokir pertemanan dengan ku di akun BBM setelah kejadian derasnya hujan di kala sore itu. Disitu juga aku menganggap hubunganku selesai dengan dirinya. Dan kisah ni tak ada bedanya dengan kisah ku dan Darma. Aku terjebak dikisah yang sama. Ya, komentar itu kian menjadi kemantapanku untuk tak lagi bersamanya.
Dadaku terasa sesak. Kepalaku pening, Mulutku kering, Langsung saja bibirku menyeruput air mineral dalam botol sedikit demi sedikit untuk menghematnya. Aku semakin sadar aku tak pantas untuk mengenalinya lebih dalam. Aku minder. Aku benci menunggu. Aku butuh kepastian. Mana cinta yang membebaskan itu. Toh kenyataannya pahit. Aku tak bisa mengekspresikan kesempurnaan cintaku.
Orang bilang, cinta yang membebaskan adalah cinta yang membebaskan bergaul dengan siapa saja, menyerahkan seluruh kepercayaannya terhadap pasangannya, membebaskan model baju apa yang disukai. Lain halnya dengan definisiku yang mengatakan bahwa cinta yang membebaskan ialah cinta tanpa akad kamu dan aku resmi pacaran. Cinta yang berada jauh disana. Membebaskan dengan siapa, dimana, apa yang aku lakukan. Dan yang lebih menyedihkan lagi dia tak lagi merindukan aku.
Bukan itu cinta yang kubutuhkan!
Hingga pada akhirnya aku lebih memilih perjodohan yang diusulkan ayahku ketimbang Darma yang meminta balik dengan aku persis sehari sebelum janji suci terikat melelui ijab Kabul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar