Suatu hari jam pulang sekolah.
Di atas angkotan umum jurusan Sriwijaya - Lamper - yg beken dengan nama "Daihatsu no 6", ada anak SMP kelas 1 yang menyapa simbah-simbah putri dengan keranjang belanjaan yang barusan naik di lampu bangjo Metro.
"Mak, bar seko pasar?"
"Inggih, Nok. Kesesa kulo lha wong wau wonten ingkang kesupen, dadosipun mbalek maleh. ajeng tindak pundi, Nok? daleme pundi?" si anak bengong.
"Mak,aku ki putumu, Mak." si anak makin bengong ketika melihat simbah putri hanya nyengir bingung.
"Ndak inggih, sinten nggih?" si anak yang sudah terlanjur bengong tingkat tinggi, lalu berusaha menjelaskan,
"Aku anake Bu Yayuk, Mak anakmu wedok mbarep."
tapi tetap saja simbah putri itu cuma menatapnya sambil nyengir bingung. Akhirnya karena ga tega dan bingung juga, si anak SMP memilih diam.
Sampai sama-sama turun dari Daihatsu no 6, menyeberang jalan, si nenek jalan cepat mendahului si anak SMP, bahkan sempat menyapa.
"Kulo tak mlampah ndisik nggih, Nok."
si anak pun mengangguk tersenyum meski pikirannya super bingung dan sedih, sedih karena simbah putrinya melupakannya.
Tetapi ketika menatap sosok simbahnya yang begitu gesit melangkah lebar meski berkain jarik dan kebaya sambil menggendong keranjang, seketika rasa bangga menyelimuti hatinya, bukan karena bangga dilupakan simbahnya, tapi bangga di usia yang sudah senja, bahkan pikun, simbahnya tetap tidak bisa berdiam diri saja di rumah. Tiap jam dua dini hari bangun menyisir jagung dan memotong sukun, pisang, tahu maupun tempe, setelah subuh jalan kaki menuju kiosnya di pasar untuk berjualan gorengan sampai habis dhuhur baru pulang.
salut banget sama simbah putri, sudah sampai pikun lupa cucunya masih ga mau diam dan masih jago berhitung.
Dan anak SMP itu aku, yang setiap kali ingat kejadian di Daihatsu no 6 itu selalu geli sekaligus ngerasa selalu diingatkan untuk terus semangat bergerak mau berapapun usiaku seperti simbah. Jujur, selalu bertanya, kalau aku menua besok pikun juga nggak ya?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar