“Halo?”
Lama tak juga menyahut
penelpon di seberang sana, keheranan Gading menatap handphonenya, nomor asing.
“Halo?” lagi diulangnya
untuk ketiga kali. Hanya terdengar riuh kendaraan bermotor.
“Selamat ya, operasimu
berhasil.” Mengernyitkan kening Gading mencoba mengingat suara itu. Kesulitan
karena tempat parkir ini begitu ramai.
“Siapa ya?” Suara
terputus sambungan yang menjawabnya. Entah siapa penelpon itu, yang jelas
Gading sedang bahagia. Karena operasi ginjalnya berhasil setelah sebelumnya
sempat kehilangan harapan tak menemukan donor yang cocok.
-000-
“Kamu sempurna! Sementara
aku tidak! Orang-orang selalu mengatakan kalau aku harus jadi seperti kamu!
Gading yang cerdas, Gading yang penurut, Gading yang anak baik dan soleh. Kamu,
selalu kamu yang jadi kebanggaan ayah bunda! Sementara aku??? Sampah yang tak
berguna!!”
“Kamu bukan sampah! Kamu
saudaraku!”
“Iyaaa, saudara yang
selalu dianggap nggak lebih becus dari saudara kembarnya.”
“Nggak, Gana bukan
seperti itu, kamu salah paham!”
“Aku salah paham??? Kamu nggak
pernah tahu rasanya jadi aku. Nggak pernah tahu rasanya dianggap aneh, nakal,
pembuat onar, anak bodoh. Sudah cukup! Kamu saja yang jadi anak ayah, aku
tidak!”
Gading berusaha mengejar
Gana yang berlalu cepat menuju motornya. Panik menyergapnya. Gading tak
menyukai setiap Gana mengendarai motor dengan amarah. Sudah tiga kali terkapar
di rumah sakit tak sedikit mematrikan jera di dirinya.
“Berhenti, Gana! Kita
belum selesai bicara.” Deru motor Kawasaki meninggalkan Gading dalam
keputusasaan. Kata orang, saudara kembar mampu berkomunikasi tanpa kata, tapi
tidak dengan mereka berdua, jangankan tanpa kata, dengan kata saja begitu
banyak kesalahpahaman. Termasuk kali ini saat Gading berusaha mendamaikan Gana
dan ayah, sebelum nanti malam dia berangkat ke Jepang.
-000-
Gading memeluk bundanya
erat. Setiap ulang tahun mereka berdua, sedih tak terelakkan dari raut muka
bunda meski bibirnya berusaha melukis senyum. Seorang ibu sanggup menanggung
lara melahirkan atau ditinggal suamimya berpaling ke wanita lain, tapi tak akan
pernah sanggup menahan duka karena kehilangan anaknya.
Sejak motor Gana
diketemukan hancur di dasar jurang, semuanya menjadi berubah. Gading telah
kehilangan sosok bunda yang selalu ceria. Senyum di bibirnya tak mampu
menghapus mendung di pancaran matanya, seperti hari ini di tahun ke lima Gading
merayakan ulang tahunnya sendirian. Hanya sebuah kue ulang tahun bertuliskan
namanya dan Gana sangat cantik dipanggang bundanya penuh dengan cinta.
“Gading, Gading, Nak
jangan buat bunda kuatir, Nak. Banguuuunnn.” Semakin lama semakin sayup suara
bunda yang mampu didengar Gading sebelum gelap merengkuhnya, lagi. Kali ini
tepat setelah dia menyuapi ayah dan bunda kue ulang tahunnya.
-000-
“Penyakit ginjal Gading ini
stadium akhir, tidak dapat diperbaiki, terapi konvensional seperti obat-obatan
sudah tidak dapat diterapkan untuk kasus Gading, Bu.” Nefrologis, dokter ahli
penyakit ginjal yang selama ini menangani Gading berusaha menjelaskan tentang
kondisi Gading.
“Maksud dokter anak saya
sudah tidak ada harapan hidup, Dok?”
Ayah Gading bertanya
dengan nada tinggi. Jelas kecemasan tergurat di wajahnya yang tak lagi muda.
“Ginjal Gading sudah
tidak dapat berfungsi seperti seharusnya, Pak. Dan hanya ada 2 cara yang memungkinkan
pasien tetap hidup ketika ginjalnya berhenti berfungsi, yaitu dialisis atau cuci
darah dan transplantasi ginjal.”
“Tapi, Dok darimana saya
bisa mendapatkan donor ginjal untuk anak saya? Ginjal saya bisakah didonorkan?”
Gading mendengar suara bunda
yang terisak ketika bertanya kepada dokter. Ingin dia berteriak melarang
bundanya, tapi teriakannya seolah terhempas dinding kamar perawatan ini.
“Jangan, Bund. Jangan.
Gading mohon jangan lakukan.” Kelelahan menjemput Gading dan membuatnya
berteman kembali dengan gelap. Entah berapa lama, yang jelas tiba-tiba dia
merasakan sentuhan di lengannya. Sayang matanya belum mau diajak berkompromi.
Entah kenapa dia merasa begitu lemas tak berdaya.
“Maafkan aku.”
Suara itu. Gading
berusaha membuka matanya lebih keras. Sekuat tenaga. Kesal dan kecewa manakala
usahanya sia-sia ketika perlahan dirasakannya sentuhan di lengannya menghilang.
“Ganaaaaa!!
Ganaaaaaa!!!!”
“Gading, sadar, Nak.
Sssshhh…” Bunda menyentuh keningnya lembut. Mata Gading tak berhenti berkeliling
ruangan mencari sosok kembarannya. Tapi tak ada. Hanya mereka berdua di kamar
perawatannya.
“Gana, Bund.” Sahutnya
lirih.
“Kamu mimpiin Gana,
Ding?”
Gading menggeleng
bingung. Gading yakin itu bukan mimpi. Terlalu nyata sentuhan dan suara Gana.
“Bukan mimpi, Bund. Aku
tadi dengar suara Gana di sini. Dia megang aku juga, Bund.”
Bundanya tampak
tercenung, sedih.
“Mungkin kamu hanya
kangen, Nak makanya mimpiin Gana.” Bunda tersenyum dan menyeka keringatnya lalu
mengambil botol minum.
“Mau minum?” Gading
mengangguk.
-000-
“Kumohon, Bunda.”
Bunda menatap anak
lelakinya. Mana ada hati seorang ibu yang tak luluh mendengar permohonan
anaknya. Apalagi dengan kondisi seperti sekarang. Anak lelaki yang
disayanginya.
“Bunda tidak tahu akan
berapa lama lagi bisa bertahan dalam kebohongan ini, Nak.”
“Sampai operasinya selesai,
Bund. Aku janji Bunda tak perlu berbohong lagi demi aku. Yaaa?”
Bunda menghela nafas
berat lalu mengangguk mengiyakan. Sama seperti lima tahun lalu. Bunda
mengiyakan keinginan Gana di rumah sakit untuk menepi dari kehidupan keluarga
mereka meskipun berat menjadi seorang pembohong di depan suaminya dan Gading.
Tapi seorang ibu bisa melakukan apa saja demi anaknya kan?
-000-
Orang bilang penyesalan
selalu datang di akhir. Tapi tak berlaku untuk Gana. Karena rasa penyesalan
sedari awal sudah menyesakkan dadanya. Dan seperti tiada akhir manakala Bunda
mengabari kondisi Gading. Pertengkaran terakhir mereka yang seolah tertancap tak
mau hilang dari ingatannya, membuat penyesalannya semakin dalam. Seandainya
saat itu dia tahu kalau Gading sakit.
Selama ini, kembaran yang
dia jadikan tumpahan kekesalan rasa irinya ternyata menyimpan derita sakitnya
sendiri. Tidak pernah mengeluh. Sementara Gana terlalu sibuk berkutat dengan
rasa sakit hatinya karena selalu dibandingkan hingga tak mampu melihat keadaan
Gading yang sesungguhnya.
Gana melihat dari
kejauhan ketika Gading dan bunda masuk ke mobil ayah. Meski dia sudah berjanji
tidak akan membuat bundanya berbohong lagi, tapi dia tahu dia belum bisa kembali.
Setidaknya sampai dia berhasil membuka satu kantor cabang baru di kota ini untuk
Gading. Untuk menebus masa lalu, sekali lagi.
Mengernyit menahan nyeri,
Gana melarikan sedannya meninggalkan halaman parkir rumah sakit.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar