29 Oktober 2023

Menebus Masa Lalu


“Halo?”
Lama tak juga menyahut penelpon di seberang sana, keheranan Gading menatap handphonenya, nomor asing.
“Halo?” lagi diulangnya untuk ketiga kali. Hanya terdengar riuh kendaraan bermotor.
“Selamat ya, operasimu berhasil.” Mengernyitkan kening Gading mencoba mengingat suara itu. Kesulitan karena tempat parkir ini begitu ramai.
“Siapa ya?” Suara terputus sambungan yang menjawabnya. Entah siapa penelpon itu, yang jelas Gading sedang bahagia. Karena operasi ginjalnya berhasil setelah sebelumnya sempat kehilangan harapan tak menemukan donor yang cocok.
-000-
“Kamu sempurna! Sementara aku tidak! Orang-orang selalu mengatakan kalau aku harus jadi seperti kamu! Gading yang cerdas, Gading yang penurut, Gading yang anak baik dan soleh. Kamu, selalu kamu yang jadi kebanggaan ayah bunda! Sementara aku??? Sampah yang tak berguna!!”
“Kamu bukan sampah! Kamu saudaraku!”
“Iyaaa, saudara yang selalu dianggap nggak lebih becus dari saudara kembarnya.”
“Nggak, Gana bukan seperti itu, kamu salah paham!”
“Aku salah paham??? Kamu nggak pernah tahu rasanya jadi aku. Nggak pernah tahu rasanya dianggap aneh, nakal, pembuat onar, anak bodoh. Sudah cukup! Kamu saja yang jadi anak ayah, aku tidak!”
Gading berusaha mengejar Gana yang berlalu cepat menuju motornya. Panik menyergapnya. Gading tak menyukai setiap Gana mengendarai motor dengan amarah. Sudah tiga kali terkapar di rumah sakit tak sedikit mematrikan jera di dirinya.
“Berhenti, Gana! Kita belum selesai bicara.” Deru motor Kawasaki meninggalkan Gading dalam keputusasaan. Kata orang, saudara kembar mampu berkomunikasi tanpa kata, tapi tidak dengan mereka berdua, jangankan tanpa kata, dengan kata saja begitu banyak kesalahpahaman. Termasuk kali ini saat Gading berusaha mendamaikan Gana dan ayah, sebelum nanti malam dia berangkat ke Jepang.
-000-
Gading memeluk bundanya erat. Setiap ulang tahun mereka berdua, sedih tak terelakkan dari raut muka bunda meski bibirnya berusaha melukis senyum. Seorang ibu sanggup menanggung lara melahirkan atau ditinggal suamimya berpaling ke wanita lain, tapi tak akan pernah sanggup menahan duka karena kehilangan anaknya.
Sejak motor Gana diketemukan hancur di dasar jurang, semuanya menjadi berubah. Gading telah kehilangan sosok bunda yang selalu ceria. Senyum di bibirnya tak mampu menghapus mendung di pancaran matanya, seperti hari ini di tahun ke lima Gading merayakan ulang tahunnya sendirian. Hanya sebuah kue ulang tahun bertuliskan namanya dan Gana sangat cantik dipanggang bundanya penuh dengan cinta.
“Gading, Gading, Nak jangan buat bunda kuatir, Nak. Banguuuunnn.” Semakin lama semakin sayup suara bunda yang mampu didengar Gading sebelum gelap merengkuhnya, lagi. Kali ini tepat setelah dia menyuapi ayah dan bunda kue ulang tahunnya.
-000-
“Penyakit ginjal Gading ini stadium akhir, tidak dapat diperbaiki, terapi konvensional seperti obat-obatan sudah tidak dapat diterapkan untuk kasus Gading, Bu.” Nefrologis, dokter ahli penyakit ginjal yang selama ini menangani Gading berusaha menjelaskan tentang kondisi Gading.
“Maksud dokter anak saya sudah tidak ada harapan hidup, Dok?”
Ayah Gading bertanya dengan nada tinggi. Jelas kecemasan tergurat di wajahnya yang tak lagi muda.
“Ginjal Gading sudah tidak dapat berfungsi seperti seharusnya, Pak. Dan hanya ada 2 cara yang memungkinkan pasien tetap hidup ketika ginjalnya berhenti berfungsi, yaitu dialisis atau cuci darah dan transplantasi ginjal.”
“Tapi, Dok darimana saya bisa mendapatkan donor ginjal untuk anak saya? Ginjal saya bisakah didonorkan?”
Gading mendengar suara bunda yang terisak ketika bertanya kepada dokter. Ingin dia berteriak melarang bundanya, tapi teriakannya seolah terhempas dinding kamar perawatan ini.
“Jangan, Bund. Jangan. Gading mohon jangan lakukan.” Kelelahan menjemput Gading dan membuatnya berteman kembali dengan gelap. Entah berapa lama, yang jelas tiba-tiba dia merasakan sentuhan di lengannya. Sayang matanya belum mau diajak berkompromi. Entah kenapa dia merasa begitu lemas tak berdaya.
“Maafkan aku.”
Suara itu. Gading berusaha membuka matanya lebih keras. Sekuat tenaga. Kesal dan kecewa manakala usahanya sia-sia ketika perlahan dirasakannya sentuhan di lengannya menghilang.
“Ganaaaaa!! Ganaaaaaa!!!!”
“Gading, sadar, Nak. Sssshhh…” Bunda menyentuh keningnya lembut. Mata Gading tak berhenti berkeliling ruangan mencari sosok kembarannya. Tapi tak ada. Hanya mereka berdua di kamar perawatannya. 
“Gana, Bund.” Sahutnya lirih.
“Kamu mimpiin Gana, Ding?”
Gading menggeleng bingung. Gading yakin itu bukan mimpi. Terlalu nyata sentuhan dan suara Gana.
“Bukan mimpi, Bund. Aku tadi dengar suara Gana di sini. Dia megang aku juga, Bund.”
Bundanya tampak tercenung, sedih.
“Mungkin kamu hanya kangen, Nak makanya mimpiin Gana.” Bunda tersenyum dan menyeka keringatnya lalu mengambil botol minum.
“Mau minum?” Gading mengangguk.
-000-
“Kumohon, Bunda.”
Bunda menatap anak lelakinya. Mana ada hati seorang ibu yang tak luluh mendengar permohonan anaknya. Apalagi dengan kondisi seperti sekarang. Anak lelaki yang disayanginya.
“Bunda tidak tahu akan berapa lama lagi bisa bertahan dalam kebohongan ini, Nak.”
“Sampai operasinya selesai, Bund. Aku janji Bunda tak perlu berbohong lagi demi aku. Yaaa?”
Bunda menghela nafas berat lalu mengangguk mengiyakan. Sama seperti lima tahun lalu. Bunda mengiyakan keinginan Gana di rumah sakit untuk menepi dari kehidupan keluarga mereka meskipun berat menjadi seorang pembohong di depan suaminya dan Gading. Tapi seorang ibu bisa melakukan apa saja demi anaknya kan?
-000-
Orang bilang penyesalan selalu datang di akhir. Tapi tak berlaku untuk Gana. Karena rasa penyesalan sedari awal sudah menyesakkan dadanya. Dan seperti tiada akhir manakala Bunda mengabari kondisi Gading. Pertengkaran terakhir mereka yang seolah tertancap tak mau hilang dari ingatannya, membuat penyesalannya semakin dalam. Seandainya saat itu dia tahu kalau Gading sakit.
Selama ini, kembaran yang dia jadikan tumpahan kekesalan rasa irinya ternyata menyimpan derita sakitnya sendiri. Tidak pernah mengeluh. Sementara Gana terlalu sibuk berkutat dengan rasa sakit hatinya karena selalu dibandingkan hingga tak mampu melihat keadaan Gading yang sesungguhnya.
Gana melihat dari kejauhan ketika Gading dan bunda masuk ke mobil ayah. Meski dia sudah berjanji tidak akan membuat bundanya berbohong lagi, tapi dia tahu dia belum bisa kembali. Setidaknya sampai dia berhasil membuka satu kantor cabang baru di kota ini untuk Gading. Untuk menebus masa lalu, sekali lagi.
Mengernyit menahan nyeri, Gana melarikan sedannya meninggalkan halaman parkir rumah sakit.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar