Kesabaran Cinta
By Anissa Salsabilla
"Yang di depan siapa tuh," goda Rani.
"Mana? Ga ada," kataku pura pura tak tahu.
"Cie cie," godanya lagi.
Lalu lintas koridor dipadati siswa dengan tas ransel di pundaknya. Suasana sore yang melelahkan sempat terganti sejenak dengan suasana hangat dan menyenangkan. Semua orang berkerumun sampai sampai terlalu sulit untuk menemukan Rohman di sana. Namun dalam sekejap dia pun nampak.
"Rohman dicari Annisa," kata Rani saat kami berpapasan di salah satu koridor sekolah.
"Bohong," tanpa melihat sedikitpun ke arah Rohman, aku terus saja berjalan bergegas pulang karena ibu sudah menunggu di depan gerbang.
"Kamu dikasih tugas," kata Ati berhenti seketika.
"Oh ya aku lupa guru kira beda," lanjutnya lagi.
"Emang kenapa?" tanya Yuni.
"Kelasku disuruh praktik monolog, dan aku bingung harus ceritain apa nanti," ekspresi Ati terlihat serius dari raut wajahnya.
"Aku juga," jawab Yuni.
"Kalau kamu mah cerita V aja ga pernah ada habisnya, gampang lah," celetukku pada Ati.
"Oh iya iya, nanti aku cerita, begitu tampannya V, tampan, tampan banget, aaa…" suara Yuni terdengar begitu semangat yang diakhiri dengan teriakan.
"Gua nih yang ga faham," ketus Tami yang berada di sampingku.
"Iya, nanti kamu cerita tentang V, terus aku cerita Jungkook," reflek tanganku bergerak seketika ketika aku membicarakan idolaku dengan Ati. Lalu Rohman lewat tepat di depanku dengan melambaikan tangan.
Aku bingung, Rohman melambai sama siapa ya? Entah kenapa mataku terpana akan senyum manisnya, dan dengan otomatis senyumku berkembang begitu saja. Mungkin yang dimaksud Yuni.
Para ibu dan bapak siswa kelas 9 berkeliaran memenuhi jalan koridor, di antara kerumunan itu, aku melihat sebuah kepala yang nampak mencari sudut mataku. Karena terhalang dengan kerumunan orang tua ini, aku jadi lebih susah untuk mengetahui itu siapa.
Dan ternyata Rohman, aku merasa dia senyum ke arahku, atau mungkin aku yang terlalu percaya diri. Aku hanya melihatnya dan menjadikannya sebagai sudut pandanganku sebelum Yuni membuyarkan semuanya.
Para orang tua datang ke sekolah untuk mengambil hasil try out kemarin. Semoga saja nilaiku naik, paling tidak jangan turun. Rapat berakhir tepat saat aku kembali ke gazebo dan mendapati Rohman bersama ibunya berdiri di tengah keridor dengan sebuah surat berisikan hasil try out di tangan ibunya.
Hatiku terasa begitu nyaman mendapati kedekatan itu, tidak seperti lelaki pada umumnya, Rohman termasuk lelaki penggila ilmu yang berwajah lumayan tampan dengan badan ideal. Tak jarang aku terpesona dengan wajahnya yang terbalut kulit putih.
Dari kejauhan aku mengamati mereka, keakraban antara ibu dan anak, yang pada dasarnya jarang ditemukan di kalangan lelaki. Tenang rasanya melihat suasana yang begitu indah.
Sementara itu, ayah menghampiriku dengan membawa amplop putih di tangannya,
"Nilai kek gitu mau masuk sekolah favorit, ada tuh sekolah depan rumah," katanya sambil menyodorkan sebuah kertas putih dari amplop itu. Ku amati dengan seksama tiap tiap nilai dari setiap try out. Dan paling banyak Cuma dapet 27. Paling ga setiap try out naik lah nilainya.
Di depan teman temanku aku merasa malu dengan nasihat ayah yang panjang lebar. Meski nilaiku lebih baik dari mereka, tetap saja nilai matematika tidak pernah sampai 7. Kalau dibandingkan sama Rohman pasti dia menang telak.
Amarah rasanya berkecamuk dalam diriku. Ingin rasanya mencekik seseorang untuk menjadi pelampiasan. Sayangnya tidak ada sukarelawan yang mau untuk ku bunuh.
Aku dan Tami berjalan mengitari koridor mencari udara segar, atau kalau saja doi si Tami lewat berpapasan di tengah jalan. Namun sampai di depan Rohman, Tami mengacaukan amarahku,
"Rohman, kamu mau dicekik Annisa," katanya ketika melewati Rohman sedang duduk di salah satu gazebo sekolah yang lain.
"Ga," spontan aku salah tingkah dan tahu harus bicara apa. Dari raut wajah Rohman aku bisa mendapati dirinya sedang dilanda kebingungan.
Sekolah kali ini berakhir dengan kecewa, tadinya sich udah terbang, tapi sayangnya jatuh lagi, dan rasanya sakit. Mengetahui peringkat yang naik turun dari paling baik menjadi biasa saja membuat diriku dipenuhi amarah yang membara.
Dengan cuaca yang sangat panas membuat tubuhku tambah berkeringat karena tadi juga olahraga. Apalagi di parkiran udaranya sangat panas karena terlalu banyak kerumunan manusia di sini sehingga saling berdesak desakan.
Aku rela menunggu di depan parkiran di bawah terik matahari, namun Yuni dan motornya juga belum kunjung nampak. Sementara itu, terlihat Rohman dak teman temannya dari seberang jalan sedang berjalan menuju parkiran. Aku mengamati langkahnya dan senyuman di bibirnya yang membuat mataku tak goyah sedikitpun.
Suara deruan mesin motor Yuni mengakhiri penglihatanku. Pandangan kami sempat bertemu dalam sekian detik sebelum motor Yuni melaju ke jalan beraspal. Namun aku masih ingat senyumannya tadi, yang begitu manis dan mustahil untuk ku lupakan.
Parkiran terasa seperti mall yang penuh dengan kerumunan, bedanya saja di sini lebih urak arikan dan sumpek. Aku berdiri di depan parkiran sambil memakan cilok yang tadi ku beli. Di seberang parkiran belum terlihat Rohman yang biasanya menunggu di sana. Mungkin saja dia sedang asyik bercengkerama dengan teman temannya di tengah koridor sekolah.
Akhrinya Rohman pun nampak dari balik mobil yang terparkir di depan warung sebelah parkiran sekolah. Dia berjalan seperti biasa dan berhenti di tempat yang biasa ia jadikan sebagai tempat menunggu parkiran sepi. Aku sempat mengamatinya beberapa menit sebelum pulang.
Terik matahari sangat berasa bagiku setelah hampir 1 jam berada di tengah lapangan.
"Eh jangan lah Tam, aku jahit topi ini susah payah, malah kamu jadiin drum," keluhku pada Tami yang sedari tadi memukul ujung topiku dengan tangannya.
"Eh iya iya," balasnya dengan menyibak topi sampai membuatnya jatuh.
"Ntar kalo sobek lagi kamu harus jahit ya," kataku mulai kesal padanya.
"Iya, perjahitan 50.000," katanya disusul dengan tawa yang menjadi ciri khasnya.
Ku kenakan topi kembali yang sebelumnya sudah ku bersihkan dari debu debu lapangan. Entah apa yang terjadi, yang membuat siswa barisan depan menoleh ke belakang. Namun karena hal ini aku mendapat kesempatan untuk berpapasan pandangan dengannya. Spontan aku juga menengok ke belakang untuk menyembunyikan pipiku yang mulai memerah.
Sejak saat itu, mood ku hari ini rasanya sampai tumpah tumpah. Bahkan guru PKN yang biasanya aku cuekin, tinggal tidur, jadi pusat perhatianku kali ini. Siap menghadapi tugas, meski tugasnya satu buku full tanpa batas. Kalau setiap hari gini mah aku juga mau.
Setelah seharian penuh memikirkan ujian praktek yang menumpuk dan harus cepat dilaksanakan, sementara aku belum mengadakan persiapan, semua ini membuatku lelah. Seperti biasanya, aku selalu menumpahkan rasa lelahku dan akan ku ubah menjadi semangat dengan cara membuat video tik tok, karena aku suka dapat banyak like dan komentar.
Jariku seperti mengepel layar kaca smartphone untuk mencari lagu yang sekiranya cocok untuk perasaanku hari ini. Setelah beberapa MB kuota aku habiskan, akhirnya ada juga lagu yang cocok, judulnya 1,2,3,4.
There's only one thing, to do, three words, for you, I love you.
Andai aja aku bisa ngomong itu langsung di depan dia, gimana ya kira kira reaksinya? Setelah bebereapa menit nge stalk idola tik tok, sekarang ganti stalk instagram. Mungkin aja Kim Taehyung ada update terbaru.
Dari gambar love hitam di bagian bawah, terdapat sebuah titik merah yang tandanya ada notifikasi terbaru. Jangan jangan followerku nambah lagi. Tapi ternyata bukan, tapi notifikasi kali ini lebih buat aku senang daripada dapat 10 follower.
"Rohman menyukai kiriman anda" dari sekian lama lost kontak sama dia, akhitnya dia beli kuota juga. Pasti dia udah WA aku, tebak aja.
Layar smartphone ku tarik ke bawah untuk melihat notifikasi dari media sosial lain.
"4 pesan belum terbaca" sebenarnya males sich buka WA, isinya Cuma ocehan orang ga penting dari group yang ga penting juga. Tapi demi dia, ga papa dech statusku kali ini online.
"Assalamualaikum stobery," pesan singkat dari Rohman.
"Waalaikumsalam coklat," ku balas secepat mungkin sebelum dia off.
Aku jadi penasaran gimana reaksi dia kalau aku ucapin I Love You. Kirim video tadi aja dech. Lingkaran hijau pada sudut bawah kiri video sangat lama berputar, mungkin karena sinyal yang kurang cepat. Keburu dia off lagi nih.
Setelah beberapa detik kemudian, akhirnya kekirim juga. Tapi kenapa cuma centang satu? Mungkin dia mandi kali ya. Ya udah dech, mandi juga. Lagipula ntar aku mau les juga kan.
Entah apa reaksinya nanti, aku memikirkannya sepanjang perjalanan pulang dari les. Mungkinkah dia senang, terkejut, atau biasa aja ya.
Pintu rumah ku ketuk beberapa kali karena belum ada yang membukanya sampai ketukan kelima akhirnya nenek datang membukakan pintu. Sepeda ku taruh, aku segera mencari smartphone dan menghidupkan data seluler sambil posisi setengah tidur karena tas masih menempel di pundakku.
Lagi lagi ada pesan belum terbaca dari beberapa chat, dan aku harap salah satunya dari dia.
"So cute…" balasnya dilengkapi dengan emot yang begitu manis.
Seketika hatiku berasa terbang di udara, menari bersama angin, mengikuti langkah burung. Hubungan kami telah berjalan lebih dari 1 tahun. Namun kami tak mempublikasikannya, karena takut jika akan mengganggu konsentrasi ujian. Sesuai kesepakatan, setelah ujian nanti kita akan pacaran secara resmi, yaitu dengan mendapat pengakuan dari pihak lain.
Satu tahun lebih kami jalani hanya dengan pandangan mata yang saling mencari satu sama lain. Yang tiap malam menyempatkan mengucap selamat malam. Yang tiap pulang sekolah selalu mencari keberadaan satu sama lain meski hanya bisa memandangnya dari kejauhan.
Cinta itu terlalu bebas, bebas untuk melukai juga untuk menyenangkan hati. Cinta itu indah, dan karena itu, duniaku tak lagi tentang hitam dan putih, melainkan berjuta warna indah menyusun sebuah romansa yang terlalu takjub untuk dipandang dan dirasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar