3 Juli 2018

Bebaskan Status Ini

Oleh; Mutia Nasution


Aku tahu bukan hanya Aku yang sedang berjuang untukmu, Aku tahu bukan hanya Aku yang tengah mendambakanmu di sepertiga malam. Namun Aku tak tahu, bila salah satu yang menginginkanmu adalah dia.  

***

Barangkali Aku terlalu sibuk dengan duniaku hingga tak selalu bisa menangkap sinyal dekapanmu. Aku yang mati-matian bekerja demi menghalalkanmu, berusaha keras menandingi gelar mastermu, mengumpulkan pundi-pundi demi memenuhi permintaan kedua orangtuamu tak pernah mengira bahwa disisi lain ada orang lain yang mencoba melakukan hal yang sama.

"Kamu menyebalkan!"

Sebuah kalimat pengantar seorang gadis yang duduk disebelahku.

"Kog ngomongnya gitu?" Tanyaku pelan.

"Kamu gak kayak pacar teman-temanku yang lain. Cowok mereka selalu ada kapan pun dibutuhin, lah kamu?"

Wajah gadis itu kian masam.

Aku mencoba membelai rambut hitamnya meski kemudian ditepis.

"Jangan bersedih!" Kataku pelan.

Gadis itu masih belum mau melihat wajahku.

"Apa pun yang Aku lakukan saat ini adalah bentuk upayaku untuk bersatu denganmu" Kataku sambil tersenyum.

"Kalimat yang sama!" Katanya mantap.

"Memangnya sehebat apa kekasih teman-temanmu itu? Aku bisa jadi lebih pekerja keras dibanding mereka yang selalu ada disetiap waktu."

"Rina, Aku tak ingin membebankan orangtuaku lagi. Mereka sudah cukup Aku repotkan dengan membiayai kuliahku sampai ke Australi dan menawariku pekerjaan seperti saat ini."

Rina membalikkan wajahnya.

"Rey, Kamu itu gak perlu gitu. Kamu udah punya semuanya. Jangan persulit diri Kamu dengan sok-sokan jadi orang biasa yang harus banting tulang demi menghidupi keluarga."

"Kamu cukup jalankan usaha keluarga Kamu dan segera lamar Aku. Itu aja. Tidak sulit kan?" Tanya Rina.

Rey menarik nafas dalam-dalam.

"Tidak semudah itu Rin. Sebagai lelaki Aku punya prinsip hidup. Aku tidak ingin seumur hidupku berada dalam naungan kedua orang tuaku. Aku ingin mandiri. Aku ingin buktikan kepada mereka kalau Aku bisa berhasil dalam karir dan menikahimu dengan jerih payahku sendiri."

Rina melihat Rey dengan tatapan emosi.

"Lantas mana sekarang hasilnya Rey, mana? Sudah tiga tahun, Ayahku sudah menanyaimu terus dan lelaki lain mulai berdatangan ingin melamarku membebaskan statusyang sudah lelah aku jaga ini."

"Ya Kamu cukup menolak lamaran Pria-pria itu." Tutur Rey.

"Sekali dua kali Aku mungkin bisa menolak mereka Rey, Tapi untuk seterusnya ? Sampai kapan Aku terus menunggu lelaki yang katanya cinta namun tak berani melamar." Tutur Rina kesal.

"Rina!" Suara Rey meninggi.

"Cukup Rey, Aku rasa kamu faham apa yang menjadi inti dari permasalahan hubungan kita ini. Aku harap kamu segera mengambil keputusan atau Aku yang akan bertindak."

Rina membuka pintu mobil dan pergi tanpa salam.

Rey  tidak mengejar Rina. Ia tahu betul kalau Rina saat ini perlu waktu sendiri untuk meredam emosinya.

Dari kejauhan ternyata Rina berharap Rey mengejar dan minta maaf padanya.

"Dasar lelaki, bukannya dikejar dan minta maaf. Malah dibiarkan pergi dan pulang sendiri. Uhhh... Aku benci Kamu Rey."

Rina menendang botol kaleng minuman yang ada dihadapannya.

Prok!

"Aduh siapa nih!" Gusar lelaki yang terkena tendangan Rina.

Lelaki bertubuh tinggi berkulit sawo matag itu membalikkan badannya.

"Astaga aduh maaf ya Bang, gak sengaja."

Rina terkejut melihat wajah lelaki tersebut.

"Astaga Ardi?"

"Rina?"

"Lama tidak bertemu, apa kabar Kamu?" Tanya Rina.

"Baik, Kamu sendiri sudah punya anak berapa?" Tanya Ardi.

Rina cemberut.

"Kenapa tuh muka, jelek sekali ditanya seperti itu. Masih Single ya?" Ardi tertawa lebar.

"Yah malah meledek. Mentang-mentang sudah menikah mau sombong." Kesal Rina.

"Aku juga belum menikah Rin." Tutur Ardi.

"Loh kog bisa? Dua tahun lalu undangan pernikahan yang Aku terima itu bukan Kamu?"

"Ya bukanlah. Itu Ardi anak kelas sebelah bukan Aku. Pasti kamu gak baca nama panjangnya ya. Dasar!"

Rina tertawa

"Aku kira itu Kamu. Undangan itu Mama Aku yang terima pas Aku lagi diluar kota. Pas Aku tanya nama mempelai prianya, kemudian Mama sebut nama Kamu jadi Aku mengira itu Kamu."

"Ya bukanlah Rin. Dua tahun lalu Aku masih di Inggris menyelesaikan gelar masterku. Gimana mau mikirin nikah!"

"Ohh kamu nyambung kuliah disana."

"Iya!" Jawab Ardi.

"Habisnya Kamu gak mau nyambung hubungan sama Aku sih, jadi Aku sambung hubungan yang mau terima Aku saja."

"Maksudnya?" Tanya Rina.

"Ya... Inggrislah!" Ardi tertawa.

"Oke sekarang Kamu jelasin apa maksud dari ini?"

Ardi menunjuk pada kaleng yang ia pegang.

"Maaf ya. Tadi Aku berantam sama pacarku makanya gak sengaja ketendang itu botol kaleng." Jelas Rina.

"Ngeri juga kekuatan tendangan Kamu kalau lagi marah Rin." Canda Ardi.

"Ihh Kamu Aku serius tahu."

"Oke! Sekarang gimana kalau Kita cari tempat nyaman untuk mengobrol. Sekalian nostalgia juga." Ajak Ardi.

Rina berfikir agak lama. Ia khawatir ajakan ini akan menambah keruh diantara hubungannya dengan Rey. Biar bagaimana pun Rey tetap masih menjadi Raja dihatinya. Namun ajakan tersebut segera Rina sanggupi mengingat hubungannya dengan Rey belakangan ini.

"Yuk!"

***

Matahari belum begitu tinggi saat ponsel Rina berdering.

"Halo!" Sapa Rina.

"Rin ini Aku."

Mata Rina segera terbelalak mendengar suara tak asing itu.

"Rey?"

"Iya Rin. Apa kabarmu?" Tanya Rey.

"Kamu masih bisa menanyai kabarku setelah dua bulan tiada kabar? Aku mendatangi Kos-kosan mu dan tidak ada yang tahu. Ponsel kamu juga tidak aktif." Rina mulai menangis.

"Aku minta maaf Rin. Aku pindah tugas ke pedalaman Kalimantan dan benar-benar tidak bisa menghubungi Kamu. Tapi sekarang Aku sudah siap Rin. Aku sudah naik jabatan dan Aku siap untuk melamarmu dan."

"Terlambat Rey!" Rina memotong omongan Rey.

"Maksud Kamu?" Tanya Rey.

"Aku sudah bertunangan dengan Ardi dan minggu depan Kami akan menikah."

Hati Rey begitu hancur mendengar pernyataan Rina. Ia tak sanggup membendung air mata yang mengalir begitu saja.

"Kenapa Rin. Kenapa kamu tega melakukan ini. Aku sudah katakan padamu bahwa Aku akan datang. Dua bulan Rin. Kamu menerima lelaki yang dekat denganmu dua bulan dan melupakan hubungan kita yang telah menahun ini."  

"Maafkan Aku Rey. Cinta butuh bukti bukan janji. Aku lelah menunggu kedatanganmu untuk melepas cinta ini menuju janjimu, yaitu menikah. Ini juga sebagai pelajaran untukmu bahwa wanita juga punya logika seperti pria. Logika itu muncul saat hatinya sering tersakita. Maafkan Aku."

Rina menutup telpon Rey.

"Bagaimana Nak, Jadi kita besok kerumah Rina?" Tanya Ibu Rey.

Air mata Rey mengalir deras dan menggelengkan kepalanya.

***


Salam
Arumi Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar