Oleh Tiya Antoni
Yang ada hanya dingin dan sunyi, sebab malam ini rinai menyapa kota, di mana aku dibesarkan. Aku pun hanya sendiri memainkan gawai, mengolah percakapan di media sosial. Ntah mengapa malam ini aku senang berteman dengan sepi dan enggan bersua Kardi, Affan, dan Seno di kerumunan orang-orang tengah kota. Mereka adalah teman kuliahku sejak awal berkuliah hingga kini, meski Affan dan Seno telah merampungkannya di akhir September bulan lalu. Aku pun kembali membalas pesan Affan yang sedari tadi mengajakku pergi ke Young Cafe. "Ayolah Ton, aku dan Seno menunggumu di Young. Kardi pun tak berapa lama jua akan tiba. Untuk apa kau memikirkan gadis misterius itu." Aku masih saja menolaknya. Entah apa yang aku pikirkan sedari tadi. Aku hanya duduk termenung, membalas segala pesan di media sosialku, dan mencoba mengingat mukanya. Muka gadis cantik yang aku temui tepat empat minggu lalu di bangku ini. Ia berparas cantik sekali. Tidak begitu tinggi, tapi itu yang membuatku menyukainya.
Gadis itu bernama Santi, hampir sebulan lalu aku menemuinya di bangku taman pinggir kota ini. Kejadian pun bermula ketika aku menunggu Kardi untuk menjemputku dengan pespa tuanya, namun Kardi yang kutunggu sejak sejam yang lalu tak juga kunjung tiba. Tak berapa lama kemudian, seorang gadis melintas di atas trotoar tepi jalan raya. Kami pun semakin dekat, sebab gadis itu duduk pada deretan bangku sebelah sisi kiriku. Kuperhatikan ia menggunakan jin hitam dengan baju seksi hitam berlengan panjang. Lekuk tubuhnya pun ditutupi balutan kardigan berwarna coklat yang menambah kesan manis pada penampilannya malam itu. Sepatu olahraganya pun juga membuat pendapatku bahwa ia adalah gadis yang memang modis. Aku pun tak henti-hentinya melirik hingga kurasakan ia sedikit terusik. Mungkin ia menyangka kalau aku bukanlah orang yang baik-baik, sebab penampilanku pun sedikit compang-camping, mendukung persepsinya tentang aku di malam itu. Aku pun memberanikan diri, kulemparkan senyum kepadanya seraya menatap bola matanya yang hitam pekat. Ia pun membalasnya hingga aku menjadi gagu.
"Aku Santi, kalau kamu?"
Sejenak aku terkejut dan segera mengindahkannya.
"Aku Toni". Dengan sedikit ragu, aku segera berpindah posisi, duduk di deretan bangku bersamanya. Kami pun memulai cerita.
"Sa...Santi dari mana? Kenapa sendiri? Tidak takut ya? Bukankah malam ini sudah cukup larut?"
"Pertanyaanmu banyak sekali, seperti wartawan yang ingin mewawancarai wanita pekerja malam hari."
"Ma...maafkan aku, bukan maksudku untuk..."
"Tidak apa-apa Mas. Baru kali ini aku bertemu dengan pria yang polos sepertimu."
Aku pun kembali tersenyum senang, sebab Santi tidak terlihat marah kepadaku. Bahkan aku menemukan ketertarikannya terhadapku. Begitu pun aku yang telah merasa nyaman sejak ia berpendapat tentang aku yang polos dimatanya. Ntah mengapa percakapan demi percakapan berikutnya membuat aku semakin tertarik pada profilnya. Aku merasa ia orang yang tepat dan bisa menerimaku apa adanya. Aku pun larut dalam perasaan.
Santi bercerita tentang keluarganya, tentang ia yang kuat menghadapi hidup bersama adiknya. Ia bercerita bahwa dirinya tidak berkuliah seperti aku. Ia terpaksa berhenti kuliah, sebab kondisi keuangan keluarga. Orang tuanya pun tahu bahwa ia tidak melanjutkan studinya lagi. Namun demikian, ia tetap tinggal di kota ini untuk mencari kerja dan belajar mandiri. Santi pun juga bercerita bahwa ia rela bekerja demi meringankan beban orang tua dan membantu keluarga, serta menyekolahkan Rini, adiknya. Ia juga bercerita tentang Rini yang sangat tekun belajar dan berprestasi di sekolah. Itulah sebabnya Santi sangat bersemangat mencari rupiah untuk tetap membuat Rini bersekolah. Terlebih lagi Rini juga akan mengakhiri masa SMA, Santi pun berniat untuk menguliahkannya.
Pun tiga belas menit kemudian waktu akan menunjukkan pukul sebelas malam. Santi tampak gelisah dan sudah mulai tak acuh terhadap dialogku. Aku pun juga merasakan kegelisannya.
"Ada apa?" Tanyaku yang sedikit bertanya-tanya. Bertanya tentang mengapa parasnya segera berubah menyimpan cemas di dalam hati.
"Aku harus pergi sekarang", jawab Santi yang membuatku masih ingin bertanya. Santi pun berdiri dan mulai berjalan menjauhiku menuju jalan raya dan hilang dalam kelam. Ntah mengapa aku merasa bahwa Santi telah menenggelamkan niatku untuk mengenal lebih dekat kepadanya. Aku pun menjulurkan kakiku untuk membuat rileks sejenak. Alih-alih ingin melupakan tanyaku yang masih meradang kepada Santi, aku pun membuka gawaiku. Tercengang, sebab Kardi telah berkali-kali memanggilku. Memang aku sempat membuat gawaiku menjadi senyap sebelumnya, terlebih obrolanku dengan Santi telah mengalihkan perhatianku pada hal lain. Santi? Ah, ia hadir lagi di benakku. Baru saja aku mulai abai kepadanya, menganggap perbincangan kami hanya biasa-biasa saja. Kelanjutannya, aku membuka pesan dari Kardi. Pesan telah kuterima sejak lebih dari sejam yang lalu. "Toni, maaf motor saya mogok. Maklum, Jeki sudah tua. Saran saya, kamu langsung pulang saja. Tak usah menungguku. Maaf". Ah, wajar saja Kardi menelponku hingga beberapa kali, sebab aku tak membalas pesannya. Mungkin ia menganggap aku marah.
Menyesal kiranya ketika mengingat peristiwa pertemuan antara aku dan Santi. Sebab, aku merasa tak bertemu akan muaranya. Sebagian alur cerita itu Santi biarkan merambah entah ke mana, membuatku penuh tanya tentang kenapa ia pergi dengan tergesa malam itu, tentang di mana tinggalnya, tentang nomornya yang bisa aku hubungi, dan masih banyak lagi. Ada banyak hipotesis yang sedang berperang di benakku sejak ia meninggalkanku malam itu hingga malam ini.
Aku pun memutuskan pergi dari taman, bukan untuk menghadiri undangan Affan untuk berkumpul bersama Kardi dan Seno di kafe, tetapi untuk pulang ke rumah, menenangkan diri dan melupakan perjumpaan dengan Santi di malam ini.
Malam berikutnya masih pada tempat yang sama. Aku pun hadir lebih dini. Sekiranya pukul tujuh malam, masih duduk di bangku yang sama pula. Berharap Santi memanggilku sebagai salah seorang yang hadir di dalam daftar presensinya. Lama aku menungguinya, hampir dua batang rokok kuisap habis sejak aku berada di taman pinggir kota.
"Melamun Mas?"
Aku kaget. Melihat kiri dan kanan, depan dan belakang. Siapa yang wanita itu sapa dengan Mas? Apakah itu aku? Apa aku mengenalnya? Aku tidak tahu siapa ia. Kalau begitu siapa yang ia sapa? Kurasakan ia mendekatiku. Suara langkahnya pun terdengar tuk tuk tuk semakin mengeras di telinga.
"Jangan melamun, tak baik. Ceritakan saja kepadaku, aku akan mendengarmu." Lalu duduk di samping kiriku.
"E..e..." Mataku sedikit ragu menatapnya. Ia pun membalas tajam tatapku, berusaha meyakinkan rasaku tentang kebaikannya.
"Ya sudah kalau tidak mau bercerita, aku juga tidak memaksa. Yah begitulah kalau sudah masalah cinta, dunia dan seisinya tak lagi dipedulikannya."
Hah...cinta? Mengapa ia bisa membaca alam pikirku. Aku baru saja melihatnya. Apa aku begitu tampak dalam lamunan cinta, sedang kasmaran yang tak tahu di mana rimba cintanya?
"Ya sudah aku pergi saja"
"Tunggu! Siapa namamu?"
"Aku Santi"
Sontak aku terkejut. Mataku terbelalak dan cengang jadinya. Kenapa gadis yang berbeda rupa ini bernama sama dengan Santi, gadis yang kucinta. Aku pun memandangnya dengan sifat yang berbeda pula. Tak hanya pada penampilannya, gadis ini juga terlalu berani memulai bicara. Ia menggunakan rok mini berwarna navy dengan kaos ketat yang mencekik tiap lekuk tubuhnya. Dadanya pun busung, seakan menawarkan indahnya salah satu bagian auratnya. Kulitnya pun kuning langsat, seolah menjelaskan bahwa ia gadis asli turunan Jawa. Cantik, hanya saja ia bukan termasuk ke dalam tipe idealku.
"Kenapa? Kok kaget? Ada yang salah dengan namaku?" Tanyanya kepadaku.
"Tidak, tidak ada yang salah dengan namamu. Namamu indah sekali."
Ia pun membuka tas hitam sandengnya, mencari sesuatu yang aku juga masih menerkanya. Mungkin saja hand phone. Tapi yang ia ambil bukan itu. Ia membuka sebungkus rokok, lalu meletakkan sebatang pada bibirnya yang bergincu merah itu. Dihidupkannya api pada macisnya. Dengan indah Santi memulai isapan pada batang rokok pertamanya.
"Ah... rokok membuat hidupku tenang. Hilang penatku jadinya. Owh, silakan dilanjutkan. Mas mau bercerita apa? Mari aku tunjukkan solusinya."
Aku pun memperkenalkan diri dan langsung dengan semangat memulai cerita. Kisah cinta kasih yang kurasa terhadap Santi. Tentang cintaku yang hanyut dibawanya. Tentang ia yang tak tahu mengenai aku yang kasmaran dibuatnya. Semua aku jelaskan. Bahkan dari awal perjumpaan hingga kini aku mencari tentangnya.
"Ah...Mas ini, tak perlu Mas memikirkannya, karena ia juga tidak memikirkanmu. Mungkin sekarang ia sibuk dengan yang lain. Bersenang-senang di atas meja bar dan bertukar liur dengan para tamu-tamunya. Jangan risau, apa lagi dipikirkan."
"Apa maksudmu? Ia tidak semurah yang kau pikirkan. Bahkan berjumpa dengannya saja kau tak pernah. Bagaimana bisa kau berpikir serendah itu?"
"Maaf, aku hanya menyampaikan pandangku. Oh iya, ini kartu namaku. Kau bisa menghubungiku lagi ketika kau butuh. Aku akan membantumu."
Ia pun pergi. Mungkin saja ia marah. Ia tidak boleh menghina Santiku. Aku tidak akan pernah mengizinkannya. Pun begitu pula dengan orang lain. Tidak ada seorang pun yang boleh menganggapnya rendah, apa lagi hina seperti yang Santi pikirkan kepadanya.
Hari keempat setelah perjumpaanku dengan Santi, aku berpikir untuk menghubunginya. Kuambil secarik kartu nama yang telah ia berikan kepadaku di malam itu. Aku pun terkejut. Baru jelas di mataku bahwa wanita itu bekerja di sebuah klub malam yang begitu asing namanya. Owh, wajar kiranya ia berpenjelmaan menggoda, seolah menjual karena memang itulah pekerjaannya. Sedikit ragu, tapi aku benar sedang membutuhkannya. Ingin berjumpa dan meminta solusi yang benar-benar darinya. Lantas kalau aku tahu ia adalah wanita bar, mengapa aku harus percaya kepadanya. Ah tidak, aku tidak perlu kejujuran dari bibir manisnya. Yang aku butuhkan adalah solusi atas masalah hatiku yang tak bertaut bersama Santi. Yaps benar, aku harus menghubungi wanita klub malam itu. Aku harus siap sabar menghadapinya, meski ia akan kembali merendahkan Santi. Asal jangan sampah serapah saja yang ia hadiahkan kepadaku tentang Santi. Tapi, tak mungkin rasanya wanita itu akan lancang. Terlebih aku telah mengingatkannya empat malam lalu. Akhirnya, aku pun menghubungi Santi.
"Pagi Santi, ini Toni. Bisa kita berjumpa lagi?" Tak harus menunggu lama, pesan pun masuk ke dalam gawaiku. Ia membalasnya.
"Baik. Aku tunggu. Pukul delapan lewat tiga puluh menit pas saat malam tiba, kau bisa menemuiku. Cari aku di Happy Club. Pukul tujuh malam akan aku bagikan lokasiku."
Meski masih ragu dengan mengiyakannya, akhirnya aku membalas pesannya. Menyetujui apa yang menjadi keinginan wanita itu. Sempat berpikir, apa yang nantinya akan kami lakukan di klub itu. Mengapa aku mesti mengiyakannya? Wanita itu tidak jelas. Bahkan aku tidak percaya dengan nama yang ia kenalkan kepadaku. Begitu juga dengan namanya di kartu nama. Bisa jadi itu semua tidak asli atau hasil manipulasi. Aku tak ingin mudah percaya, apa lagi sampai tertipu daya.
Pun hari sudah mulai kelam, hpku berdering. Bisa kupastikan bahwa bunyi itu adalah pesan dari Santi yang memberitahu lokasi tempatnya bekerja. Waktu juga telah menunjukkan pukul tujuh malam, bahkan lewat kiranya hingga enam menit. Terang saja, pesan itu dari Santi. Aku pun segera bersiap.
Tepat pada pukul delapan malam aku melaju menuju Santi dengan Ninjaku. Kukenakan pakaian yang serba hitam di malam ini. Kaos hitam, jin hitam, jaket kulit hitam, dan sepatu bot hitam. Perjalanan pun aku buat santai agar membuat suasana hatiku tidak tegang.
Segera kuparkirkan motorku. Telah terlambat lima belas menit aku kiranya. Aku buka alat komunikasiku. Rupa-rupanya telah dua kali wanita itu menghubungiku dan tidak aku angkat. Kubaca pesan darinya, "Masih di jalan ya? Hati-hati." Ah, kenapa ia menjadi peduli terhadapku. Ia hanya rekanku untuk mengetahui tentang Santi dan keberadaan Santi.
"Hai...Sudah ditunggu loh Ton dari tadi. Mnn...ayo masuk!"
Ia pun menarik lenganku, lalu mengajak masuk ke Happy Club. Aku hanya terdiam, merasa asing dengan suasana tempat yang tersajikan. Lalu duduk di sofa merah panjang. Bau alkohol pun sangat kuat. Bahkan tanpa meminumnya pun aku telah merasa mabuk dan terbuai. Orang-orang ramai lalu lalang. Aku masih terdiam.
"Kenapa dari tadi diam? Belum pernah ke klub?"
"Ya! Apa tanyamu tadi?" Tanyaku kembali bertanya kepadanya. Tidak jelas terdengar, sebab ada banyak suara dan bunyi di sini. Orang-orang berlomba-lomba bercakap saling bersuara dengan kerasnya. Begitu pula dengan musik yang tak kalah gaung bunyinya. Santi pun kembali bertanya dengan meletakkan bibirnya yang merah delima dekat ke telinga kiriku. Aku pun tak ragu menyodorkan alat pendengaranku kepadanya.
"Kenapa diam? Kamu belum pernah ke klub sebelumnya ya?
"Oo...iya. Ini pengalaman pertamaku"
"Dasar polos"
"Apa?"
"Polos. Wajar saja kau mudah terperangkap"
Sejenak aku merenungi katanya. "Polos", kata yang sama saat Santi ucapkan kepadaku hampir lima minggu lalu. Lalu kalau aku polos kenapa? Lantas apa yang telah orang lain tipu dariku. Aku tidak merasakannya.
Sudah sejam lebih lamanya aku berbincang dengan Santi. Tidak ada informasi lebih yang bisa aku dapatkan. Hanya pengalaman pergi ke klub, bertemu dengan wanita bar malam, dan keramaian orang yang sudah pasti tidak ada yang kukenal. Lalu melihat Santi yang mulai terhuyung-huyung, akibat minum bir yang sedari tadi tak henti-hentinya. Aku pun melihat jam tanganku. Tiga puluh menit lagi menuju pukul sebelas malam. Aku pun memutuskan untuk pulang karena kantukku sudah mulai datang. Berikutnya, aku bersikap untuk pulang. Namun, belum sampai ucapku, Santi pun menahan pundakku.
"Tunggu! Kau belum boleh pulang. Rara belum datang. Setengah jam lagi ia akan tiba."
Rara? Siapa ia? Aku tidak mengerti perkataan gadis bar yang sedang mabuk ini. Ia meracau, tak tahu akan apa yang ia telah katakan. Ah, inilah sulitnya berjumpa dengan gadis penghibur di dunia malam.
"Kau tunggu saja di sini! Biarkan aku mengeceknya"
Gadis ini benar-benar gila. Sudah mabuk berat ia kiranya. Bahkan aku tak tahu entah siapa Rara, orang yang ia maksud. Aku pun membiarkannya meninggalkanku. Mungkin menunggu sejenak lebih baik. Toh ia hanya sebentar, mengecek Rara yang mungkin rekan kerjanya sesama wanita klub malam. Lalu meminta pertolongan kepada Rara karena ia telah mabuk yang sangat berat.
Dua puluh menit aku menunggu. Namun Santi tak juga kunjung datang. Di mana wanita itu? Apa ia telah pingsan? Apa iya telah bertemu dengan Rara rekan kerjanya? Atau jangan-jangan ia disergap si hidung belang? Ah ntah lah. Toh jika benar, memang itu pekerjaannya. Tapi, bagaimana caranya aku pulang? Apa aku tinggalkan sanja tanpa memberitahukannya? Aku pun memilih untuk mengeceknya ke bagian belakang klup. Aku melihat kerumunan lelaki yang sedang menggoda seorang wanita. Tak begitu jelas parasnya, namun dengan baik gadis itu melayani tamu-tamunya. Bahkan tak segan ia membiarkan para tamunya meraba bawah pahanya. Oh pemandangan yang indah, namun penuh akan dosa.
"Ayo Rara! Puaskan aku. Aku bahagia bercinta bersamamu sayang. Aku mau lagi seperti malam-malam biasanya."
Terkejut, aku mendengar nama Rara dari salah seorang hidung belang. Begitu juga sapaan dari pria lainnya, memanggil dan memuja Rara. Ia pasti gadis yang cantik, buktiknya ada banyak orang yang terpikat kepadanya. Penasaran, mungkin aku harus mengenalnya, aku juga harus bertanya kepadanya, menanyakan Santi si gadis bar, rekan sejawatnya. Aku pun masuk ke dalam kerumunan pria pemburu nafsu dengan terpaksa, mengkondisikan diriku sebagai teman sesamanya. Sesama pencinta birahi tepatnya. Aku pun siap untuk menggoda Rara.
"Rara, aku mau kamu sayang. Puaskan aku. Puaskan! Ayo Rara! Aku ingin menidurimu! Bercumbu!" Meracau selalu, menyuarakan hasrat seksku.
Masih kurang jelas sosok Rara di mataku, sebab remang itu bercampur gemerlap lampu. Aku raih tangan kirinya, menyentak ingin mengajaknya pergi dari kerumunan lelaki-lelaki pemuja nafsu. Sejurus kemudian, seorang mendesakku, membuatku terperosok ke pangkuannya. Jelas muka gadis itu.
"Toni...?" Tanyanya mengejutkan.
Aku hanya diam, mengernyitkan dahi, saling memandangi sangat dalam. Diremasnya lenganku. Aku pun mengindahkannya.
"Santi, inikah rupamu? Orang yang aku cintai!" Segera aku lepaskan genggaman tangannya. Pergi meninggalkan Santi yang ternyata adalah Rara, menanggalkan semua kenangan dan cinta tentangnya, meski asa untuk selalu bersamanya sirna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar