"Kentalnya darah tak akan melupakan asal usulnya. Meski kelak tak lagi disatukan dalam atap yang sama. Selamanya dia akan tetap ibumu."
Dian menutup coretan di aplikasi Keep dengan kata-kata almarhum ayahnya sebelum pertengkaran itu terjadi. Air mata mengalir deras dari kedua kelopak matanya manakala teringat peristiwa demi peristiwa yang terjadi dua bulan belakangan ini, yang sangat menguras emosinya. Dian mampu tegar mengambil tanggung jawab keluarga manakala kedua orang tua mereka tiada. Tapi ketika berhadapan dengan api kebencian yang terpancar dari mata Siska, Dian tak sanggup menahan perih koyakan di hatinya.
-000-
"Kenapa sih, Mbak? Apa kurangnya Hari? Dia asisten dosen, baik loh orangnya. Nggak neko-neko." Siska merajuk kesal sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dian menghela nafas panjang sebelum berbicara. Dian tahu tak mudah berbicara dengan adek satu-satunya. Bukan hanya manja, tapi Siska memiliki watak keras dan susah dilarang. Semakin dilarang maka dia akan semakin berontak. Harus dibiarkan mentok dulu baru dia akan paham. Tapi untuk yang satu ini, Dian tidak akan sanggup kalau hanya diam menunggu adik kesayangannya kepentok kena batunya. Karena dia tahu bila sampai itu terjadi maka fatal akibatnya. Taruhannya masa depan Siska. Dan dia tidak akan membiarkan apapun dan siapa pun merusak masa depan Siska. Tak juga lelaki bernama Hari. Lelaki yang dia kenal baik.
"Iya dia mungkin baik. Tapi, insting mbak mengatakan kalau dia punya niat nggak baik, Dek ke kamu." Dian tahu dia sudah menekan tombol yang salah dengan bicara soal insting. Dengan orang serasional dan selogis Siska, susah bicara tentang insting. Tapi mau bagaimana lagi, saat ini baru hal itu yang terpikirkan olehnya. Dan benar saja. Siska tertawa sinis.
"Mbak, tolong deh…hari gini bicara tentang insting? Serius? Yang nyata aja deh mbak. Kalau Hari punya niat jelek ke aku, maka dia nggak akan menolongku saat aku hampir dijambret di kampus. Orang-orang aja cuek nggak nolong. Hanya dia mbak yang nolong aku waktu itu."
Dian memejamkan mata, gemas. Paling susah bicara dengan orang yang sedang dimabuk cinta. Karena dia hanya akan menelan cinta yang menurutnya manis tanpa sadar kalau adakalanya justru manisnya cinta itu yang akan membunuhnya. Berdiri dari tempat tidur Siska, Dian melangkah menuju pintu kamar. Menggenggam pegangan pintu Dian menoleh ke Siska, "Mbak hanya berharap, kamu bisa jaga diri baik-baik, Dek. Jangan terlalu hanyut dengan manisnya sikap Hari. Oke?"
Siska mengangkat kedua tangannya membentuk isyarat janji. Kebiasaan di antara mereka berdua sedari kecil. "Aku sudah besar, Mbak. Dan iya aku akan hati-hati."
Dian mengangguk lalu beranjak keluar kamar. Dengan kepala penuh pertanyaan dan rencana yang intinya berakar pada hal yang sama, yaitu bagaimana cara menjauhkan Siska dari Hari. Apapun caranya, akan dia lakukan. Meski itu artinya dia harus kehilangan dirinya sendiri.
-000-
"Jadi, selama ini ternyata mbak berusaha menjauhkan aku dari Hari karena mbak menaruh hati pada Hari???!!" hardik Siska. Dan meski Dian sudah bersiap dengan kemungkinan terburuk, yaitu dibenci adiknya, tak ayal hardikan Siska terasa begitu menusuknya. Menaruh hati pada Hari bahkan tidak pernah sedikit pun ada di benaknya. Tapi demi Siska, apa saja akan dia lakukan. Termasuk menjadi pemain drama sekelas Ardinia Wirasti yang penuh totalitas memainkan perannya.
"Iya. Mbak sudah lama mengenal Hari. Dan selama itulah mbak menyukainya. Mbak nggak rela kalau Hari sampai berpacaran dengan kamu. Karenanya mbak melarangmu. Nggak ada orang yang suka bersaing dengan saudaranya sendiri kan? Apalagi untuk urusan lelaki. Hari itu milik mbak, karena mbak lebih dulu mengenalnya. Sementara kamu baru belakangan." Enteng kalimat-kalimat itu meluncur dari bibir Dian. Tak seringan deru nafas yang berat tertahan di rongga dadanya. Kalimat yang sengaja ditata setajam dan semematikan mungkin racunnya untuk menghentikan langkah Siska. Ekspresi Siska sungguh membuatnya ingin memeluk adik kesayangannya dan mengatakan bahwa semua ini hanyalah skenario rekaan, tetapi ditahannya.
"Bagaimana bila aku mengajakmu untuk bersaing sehat, Mbak? Semua orang berhak kan untuk menjadi pejuang di cerita cintanya sendiri? Karenanya aku memilih untuk memperjuangkan ceritaku hingga akhir, Mbak. Entah dengan akhir seperti apa. Bagaimana?" Siska nyalang menatapnya, menantang. Dian terkesiap. Siska memang kepala batu, tapi baru sekarang ini Dian melihat batu itu bukan sekedar batu topaz, melainkan batu berlian yang tingkat kekerasannya luar biasa hingga hanya bisa tergores oleh berlian lainnya. Dan Dian harus menjadi berlian yang lainnya dalam pertarungan ini. Dian sadar "bertarung" dengan Siska bukan hal mudah, tapi sekali lagi demi adik kesayangannya, akan dia lakukan apapun untuk menyelamatkannya.
Termasuk menangguhkan rasa kecewa ketika setiap kali Dian mengajak Siska bicara tetapi tak ada tanggapan sama sekali. Lebih dari sepuluh hari sudah Siska mengabaikan keberadaannya. Bahkan datang dan pergi sengaja menghindarinya. Ketika tak sengaja berpapasan pun, matanya menyorotkan kebencian yang nyata. Memerihkan hati.
-000-
Menyeka air mata, Dian beralih dari aplikasi Keep, ke Whatsapp nya.
Darl, transferanku sudah masuk kan?
Sejurus kemudian layar gawainya berkedip.
Udah, Yank. Thanks Love. Xoxo
Dian tersenyum, sinis, sinisme yang ditujukan untuk lawan bicaranya di ujung sana, dan sejenak optimisme yang menyeruak di dadanya membuatnya merasa ringan. Untuknya, setiap cerita harus memiliki akhir yang jelas. Entah itu akhir bahagia atau sedih. Yang terpenting bukan menggantung penuh pertanyaan tentang segala kemungkinan. Dia tidak pernah menyukai cerita semacam itu. Berada di ketidakjelasan dan ketidakpastian selalu membuatnya gelisah. Dan kegelisahan itulah yang lima tahun lalu mengantarkannya pada sebuah kenyataan yang meski pahit tapi setidaknya Dian menjadi paham dan tidak berada di kegelapan, tanpa titik terang apapun, hal yang juga tak disukainya. Mahal memang harga yang harus dibayar untuk lepas dari ketidaktahuan, sama seperti sekarang ini ketika tabungannya harus berkurang demi Siska. Dia rela.
-000-
Sambil menatap Siska yang ada di seberangnya, Dian menghirup aroma kopi sebelum menyeruputnya perlahan. Dia tahu, secangkir kopi ini yang akan mampu membuatnya tenang. Tak peduli dengan kandungan di dalamnya yang tak bersahabat dengan lambungnya sejak lama, yang jelas dia butuh.
Siska menangis tersedu dan berulangkali menjambak rambutnya sendiri. Itu membuatnya mengernyit, sakit, tapi setidaknya sedikit lebih baik daripada harus melihat Siska terbujur kaku seperti orang yang paling disayanginya lima tahun lalu.
"Kenapa, Mbak merahasiakan ini dariku?" Siska memandang deretan foto di depannya. Dan berulangkali menekan alat pemutar media di gawainya. Terdengar suaranya dan suara Hari dari sana. Rekaman saat Hari meminta uang dari Dian. Pun rekaman pertengkaran orang tuanya. Ketidakpercayaan, kemarahan, dan kesedihan nyata terpancar dari bahasa tubuh Siska.
"Karena kadang ada hal yang menjadi lebih baik ketika tidak diceritakan."
Menyandarkan kepalanya yang terasa berat, Dian mengambil oksigen sebanyak parunya mampu untuk menampung. Hal berulang setiap dialog itu terputar dari memori otaknya.
-000-
Cerita detektif adalah genre terfavorit di daftar bacaannya. Sementara kata "penasaran" bisa jadi adalah yang paling sering muncul di dirinya. Dan pertanyaan "kenapa" mungkin bisa menjadi urutan kedua setelahnya. Selalu membayangkan dirinya adalah detektif Poirot yang cerdas menyelesaikan setiap pertanyaan, Dian memasang telinganya sedekat mungkin dengan tembok kamar ayah dan ibu.
"Kamu tega, Pa?" terisak suara ibunya bertanya.
"Tentu saja. Jangan lupa, Ma aku yang bekerja siang malam. Aku berhak atas setiap sen dari uang itu. Termasuk memintanya kembali dari orang yang tidak ada hak sama sekali menikmati hasil kerjaku! Ayo bangun, sebelum bercerai, kita selesaikan ini di rumah Hari!"
Dian bergegas menepi ketika ayahnya keluar dari kamar dengan marah bersama ibunya yang mengikuti dari belakang. Mereka tidak melihatnya, Dian lah yang menatap mereka dari balik buku yang bahkan sampulnya saja terbalik. Dan itu menjadi saat terakhir Dian melihat ayah ibunya.
-000-
Dian mengecek semua dokumen yang diserahkan notaris tadi pagi. Ini hari terakhir dia menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Entah kapan akan kembali. Bahkan untuk sekedar menengok makam kedua orang tuanya. Bukan durhaka, karena baginya doa bisa dikirim dari mana saja berada. Dan Tuhan juga tak mengharuskan hanya dari kode pos kota kelahirannya saja doa bisa diterima untuk kedua orang tuanya kan. Perawatan untuk makam serta usaha keluarga sudah dia percayakan pada adik ayahnya yang mendukung penuh keputusannya untuk memulai kehidupan mereka di tempat yang baru.
Suara pintu dibuka membuatnya menoleh dari lembar dokumen yang sedang dia baca. Siska masuk ke kamar dan memeluknya dari belakang, "Aku sayang, Mbak. Selamanya aku akan menyesali kata-kataku kemarin, Mbak. Maaf ya."
Dian menepuk lengan Siska yang melingkar di perutnya. Tersenyum.
"Karena kamu adalah nyawa yang membuat Mbak bertahan untuk terus hidup setelah kabar kecelakaan ayah ibu malam itu, Dek. Apapun akan Mbak lakukan untukmu."
Berpelukan lega, akhirnya darah tak harus terpisah lagi hanya karena seorang lelaki bernama Hari, yang memanfaatkan setiap transferan uang dari wanita yang dirayunya atas nama cinta, termasuk ibunya.
Salam
Arumi Wijaya
Arumi Wijaya

Tidak ada komentar:
Posting Komentar