Mantan....oh....Mantan!
Oleh: Vety Khoiry
"30 menit"
"Maksutnya?"
"Gugup diam tak bergerak"
"Kenapa?"
"Menulis kata Aku sayang padamu"
Tuhan....aku juga sangat mencintainya. Apakah aku harus membalas chat Whatsappnya dengan jawaban, Cinta! aku juga masih sangat menyayangimu.
Baiklah...
"Salah kirim ya?"
"Oh...iya. maaf! Hehe"
Udah gitu aja. Dan aku tidak perlu membalasnya lagi bukan?
Dia, lelaki yang pernah ada di hatiku dan masih ada di hatiku.
Dia, pria muda yang telah menemani kehidupan remajaku hingga aku dewasa
Dia, sempat menjadikanku wanita yang disebutnya sebagai pacar
Tapi, kali ini dia yang telah berubah status menjadi mantan.
Dan kemudian...
"Liat statusku deh. Kasih komentar ya?"
Aku pun senyum-senyum karena bisa menebak pasti status tersebut ditujukannya untukku, seperti sebelum-sebelumnya.
"Harus?"
"Komentarin lah, nanti tak kasih cerita"
"Status apa emang kok heboh?"
"Nggak jadi deh, moga aja nggak liat ya. Jadi viral ni, banyak temen-temen minta klarifikasi"
Ah, sok banget ni anak. Oke aku akan mengeceknya.
Finally, mataku langsung menyala seratus watt.
"Cantik. Bungkus aja" balasku akhirnya.
"Ah jangan komentar fisiknya dong. Aku ceritain aja belum, udah main bungkus aja."
Apa yang aku tahu? Tidak banyak. Belum pernah bertemu dengannya, belum pernah ngobrol bersama. Tapi dia cantik dan kamu jatuh cinta dengannya.Yang itu aku tahu dan membuatku cemburu. Tapi aku nggak sebodoh itu kan harus menuangkan isi hati sepanjang itu sebagai balasan chatku?
"Mirip nggak dengan ini?"
Oh Tuhan....itu fotoku beberapa tahun lalu ketika masih kuliah. Dari mana dia mendapatkannya? Bukankah setelah memutuskan berhijrah tiga tahun terakhir, seluruh foto di sosmedku sudah aku hapus dan beberapa diantaranya aku privasi. Apa dia masih menyimpannya? Stop! Aku tidak ingin semakin jauh berspekulasi, kalau tidak ingin kecewa kedua kali untuk malam ini.
"Katanya mau cerita" aku mengabaikan pertanyaannya.
"Baru kenal dua minggu. Tapi pengenku, kalau mau permintaanku nomer satu Al-Qur'an. Dan dia masih belum memutuskan. Khawatir nggak kuat dan nggak bisa menjaganya. Moga aja barokah. Tapi masih proses, kalau cocok dan serius kutunggu. Tapi kalau nggak, ya say dood bye. Baru lulus Aliyah".
Masih muda dan pasti jauh lebih menarik dariku. Aku memencet keypad gadget dengan gugup. Membenci apa yang akan kukatakan.
"Moga saja dia mau untuk menghafalkan Qur'an, dengan begitu Abang bisa lanjut sama dia ke pelaminan hehe"
Percayalah dia yang bisa menulis hehehe, wkwkwk atau apapun itu yang masih saudara, belum tentu di kehidupan yang nyata dia ketawa bahagia. Contohnya saja...yah..bisa menilai sendiri kan?
"Haha Amiiin. Dia aku ceritain BAROKAH kita. Mungkin bisa dibuat pelajaran hidup. Inget kan kamu? BAROKAH itu....coba terusin"
Dengan cekatan aku menulis "Barokah itu ketika Adek hafal Qur'an, dan Abang kitabnya nglothok (lancar hafal diluar kepala)"
Itu adalah kata-kata penyemangat kita berdua ketika sama-sama nyantri untuk memotivasi. Kita pacaran empat tahun selama masih kuliah. Selepas sarjana kita berpisah tempat tapi tidak dengan hati. Tidak pernah bertemu dan berhubungan sama sekali sejak mengejar kata barokah tersebut. Tapi, aku harus gigit jari ketika barokah itu telah tercapai, namun Orang tua dari pihakku tak merestui.
"Kurang sopan, kalau anak baik-baik dan serius pasti dia mengajak orang tuanya juga pas minta kamu" begitu alasan Ayah.
Sampai akhirnya kita benar-benar berpisah dan mengubur segala impian yang pernah kita buat selama ini. Ya, walaupun kita sudah tidak ada hubungan apa-apa selain pertemanan, tapi aku tak bisa berbohong kalau dalam hati masih memiliki rasa dan megharapkannya.
Sudahlah, kalau orang tua tidak merestui aku bisa apa? Aku yakin Tuhan akan menggantinya yang lebih baik. Dan bukankah Ridho Allah adalah Ridho orang tua? Aku tak ingin dicap sebagai anak durhaka untuk itu.
"Sudah lama sekali orang tuamu menjaga dan merawatmu selama ini. Sekarang gantian adek yang menjaganya. Melihatmu ada di samping mereka adalah kebahagiaan untuknya. " hiburnya ketika itu.
Mengingatnya, perasaan sedih muncul lagi. Apalagi ditambah dengan cerita yang baru saja. Bertambahlah rasa sedih itu dengan terluka. Tapi, aku tidak akan memperlihatkan kepadanya. Biarlah perasaan ini aku simpan dalam-dalam. Yang hanya aku dan Allah saja yang tahu. Kalau bisa setan pun juga jangan sampai mengetahuinya.
"Hapus dong fotoku"
"Hapus sendiri ya, aku pinjemin handphoneku"
"Modus...bilang aja pengen ketemu" candaku.
"Haha, nggak boleh ketemu kalau nggak ada saksi dan wali. Pengenku kalau ketemu langsung walinya sama saksinya. Nggak ketemu ceweknya nggak papa"
Tu kan,,,aku jadi terlihat bodoh banget kan jadinya. Tapi, untungnya dia tipe cowok yang easy going. Moga aja dia nganggep balesanku tadi cuma bahan candaan. Karena emang kenyataannya seperti itu.
"Ceile...gaya banget. Hehe iya deh nang dijemput tu dianya. Dah ditunggu walinya. Tapi sebelum itu hapus dulu ya fotoku"
"Nggak mau ah. Mau aku kenalin istriku besok. Aku ceritain bagaimana perjuangan kamu, biar bisa niru. Pokoknya aku pesen bener-bener jangan ditinggal Al-Qur'annya dan dijaga terus. Kamu itu sumber barakahnya Allah turun. Abang Cuma bisa pesen nggak bisa bantu. Jaga diri dan kesehatan ya. Jangan lupa kasih kabar. Assalamualaikum"
Percakap malam itu pun selesai tapi tidak dengan hatiku yang masih belum berakhir untuk mencintainya. Mengamati pantulanku di cermin, aku tidak bisa menahan helaan nafas sedihku. Pagi harinya aku berniat menonaktifkan seluruh handphon dan sosmedku. Aku tidak ingin terluka lebih jauh lagi. Walau aku tahu, dia tidak bermaksut membuatku terluka. Dia hanya ingin berbagi cerita.
Dia juga tidak tahu bagaimana hatiku, dan semoga saja jangan sampai tahu. Beberapa hari lagi aku akan kembali tholabul ilmi untuk tabarukan di Ponpes baru. Bukan sebagai pelampiasan sakit hati. Yah, meskipun juga ada seglintir niatan untuk itu. Tapi, tidak. Aku memang sudah bertekad setelah hatam menghafalkan Qur'an, aku ingin tabarukan di Bu Nyai sepuh (tua) dan memperlancar hafalanku lagi. Syukur-syukur bisa sekaligus melupakan dan mengusir jauh-jauh perasaan hati yang belum halal ini.
Hari dimana keberangkatan di tempat baru telah tiba. Dengan niat lilllahi ta'ala dan diantar keluarga aku memasuki gerbang pesantren. Setelah sowan ke Ndalem Kyai, kami sekeluarga istirahat sejenak di aula yang dijadikan tempat untuk orang tua menjenguk putrinya.
Peraturan pesantren, tidak diperbolehkan bagi santrinya untuk membawa handphone atau elektronik lain. Sebelum menyerahkan kotak kecil elektronik itu kepada Ibu, aku sempatkan mengaktifkannya mengingat belakangan ini aku matikan.
Beberapa pemberitahuan masuk. Lima ratus chat lebih berebutan muncul dilayar. Obrolan tak penting dari grup ku abaiakan. Pikiranku disibukkan dengan salah satu chat seseorang yang menjadi alasanku menonaktifkan handphone.
Dari sekian inboxnya, aku lebih fokus salah satu pesan audio yang menjadi pesan terakhirnya karena berada diurutan paling bawah. Aku permisi sebentar meninggalkan kumpulan keluargaku. Menjauh ke tempat di mana aku bisa mendengar pesan itu seorang diri tanpa ada yang mengganggu. Dibawah pohon rindang ada kursi panjang yang kosong. Oke, Aku menemukannya.
Dengan gemetar aku mulai putar pesan suara tersebut. Suara seorang lelaki, dan aku hafal itu. Dia
"Puisi Cinta
Mudah sekali untuk ucapkan
Aku sayang padamu
Aku rindu padamu
Bahkan aku cinta padamu
Bukti cinta kan bukan kata-kata ucapan mesra
Pertanggungannya selamanya
Tempat aman di dunia sampai di surga
Doanya selalu bersama
Hidup sekali untuk dia
Yang akan menjadi rumah sederhana dalam hati
Yang telah menjadi taman surga
Cinta yang sejati selalu aman
Tidak mengikat nafsu setan
Tiada sedih tiada duka
Karena cinta esensi bahagia
Abadi untuk selamanya
Meski tiada berjodoh, cinta sejati selalu menerima
Ketika suka ataupun ketika duka tiada beda
Rinduku....
Dari awal mula dicinta
aku merasakan getaran yang luar biasa
Hatiku ku yakinkan untuk percaya
Akan nikmat yang ada di depan mata
Seperti bidadari keindahan yang suci
Terpancar dari sorot matamu, sifat sederhana kejujuran laku
Meski tak bisa sempurna menceritakanmu
Karena rindu tiada ikatan ruang dan waktu
Dirimu bagiku adalah surga
Kesungguhan cintamu padamkan neraka
Rinduku oh rinduku
Tulang rusukku yang terpisah dariku
Kembalilah...kembali
Aku jauh dari kata sempurna bila sendiri
20 agustus 2017"
Stop baper! Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbii 'alaa diinik. Ya Allah sang pembolak balik hati, tetapkan hatiku untuk berada di agamamu.
Aku tidak harus membalasnya. Walau tak bisa dipungkiri kalau aku bahagia mendapat puisi darinya. Tapi aku tak boleh goyah. Aku tetap tidak akan mengumbar perasaan cinta ke sembarang nama yang belum halal untukku. Dan karena cinta itu membebaskan, aku tak akan mengikatmu untuk selalu bersamaku sebelum kita sampai di pelaminan.
Aku serahkan segalanya kepada Allah. Kalaupun kita memang berjodoh dia pasti akan kembali dengan jalan suci yang diridhoi, bukan hanya oleh orang tuaku. Tapi juga Illahi Rabbi sang penguasa langit dan bumi. Amiin.
Jika kamu mau mengulangi. Tolong jemput aku lagi, jangan sendiri. Ajak orang tua dan keluargamu. Aku masih mengharapkanmu. Tapi aku tak akan memberitahu. Doaku doamu semoga kita bisa bersatu. Biar perasaan ini aku simpan dalam hati. Aku akan sibukkan hari dan hati ini untuk Qur'anku. Dan aku yakin dengan bersungguh-sungguh menjaga hafalanku, Tuhan juga tak akan lupa untuk selalu menjaga dan memperhatikanku.
#####
Dua tahun sudah aku berada di pesantren, telah selesai masa tabarukanku dan hafalan qur'anku khatam untuk ke dua kalinya, hingga tibalah saatnya hari ini aku pulang.
"Besok ada keluarga yang pengen ketemu sama kamu. Dandan yang cantik ya?" Ibu berkata sambil mengusap lembut kepalaku. Tak perlu ku tanya lebih jauh lagi perihal keperluan dan siapa tamunya. Mungkin aku tahu keperluan keluarga tersebut, tapi yang tidak ku tahu, siapa mereka? Tak kuasa ku utarakan pertanyaan tersebut, dan aku hanya mengangguk.
#####
"Mereka sudah datang satu jam yang lalu sayang, kamu sampai kapan baru mau keluar?"
"Anin, malu, Bu"
"Udah, nggak usah malu-malu segala, anak ibu kan cantik. Ayo keluar syang.sekarang mereka udah kumpul di ruang makan, kamu nanti ikut makan di sana sekalian ya?"
"Ah, Ibu. Anin nanti setelah salim sama tamu ceweknya, Anin langsung balik aja ya?"
"Aduh, ni anak. Belum juga ketemu udah nawar langsung mau balik aja. Yaudah yaudah terserah kamu aja. Yang penting sekarang kamu keluar dulu"
Antara gerogi, canggung dan takut perasaan campur aduk jadi satu. Dengan dituntun ibu menuju ruang tamu, aku salim kepada satu tamu perempuan, cantik dan sepertinya usianya tak beda jauh dengan ibu.
"Dan sekarang, tolong Anin, Masnya diambilin nasinya" kontan seluruh isi ruangan tertawa mendengar perkataan Ayah. Aku masih diam di tempat tak menjawab dan belum juga bergerak.
"Ayo Anin, udah di tunggu lo. Kasian masnya udah lapar dari tadi nungguin kamu hahaha" kenapa juga abang ikut-ikutan ngledekin? Awas kamu bang nanti!
Tanpa mengangkat wajah dan tanpa menatap si "Mas" yang dimaksud. Ku raih satu piring dan mengambilkan nasi untuk tamu yang katanya kelaparan tadi. Setelah ku rasa cukup ku serahkan kepadanya dan lagi-lagi tanpa memandangnya.
" Terima kasih"
Tidak mungkin! Ku angkat kepalaku, dan benar. Masya Allah. Tuhan, skenario apa ini?
Dia! Ya dia! Yang selama ini masih selalu ku sebut dalam doa. Dia ! yang selama ini tak pernah ku dengar kabar lagidarinya. Dia! Yang dulu pernah ku impikan untuk bersama. Dan dia! Yang sekarang tengah tersenyum tepat berada di depanku.
"Ehm, Anin! Katanya tadi setelah salim sama tamu yang cewek mau langsung balik ke kamar? Kok sekarang malah krasan aja ya Bah anak kita di sini?" Seisi ruangan tertawa. Aku malu dan tanpa sadar aku langsung berlari menuju kamar. Terima kasih Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar