Surat Cinta Untuk Rahman
By Sharly Claudia
Aku tau kamu mencintaiku. Tapi, maaf!!! Cinta Allah lebih besar untukku...
Perlahan, mataku mulai terpejam. Pikiranku terbang menuju lamunan terpendam. Kelopak-kelopak layu mataku saling menyatu sambil mengingat sesuatu. Sesuatu yang berupa memori kenangan yang sampai sekarang aku masih belum bisa menentukan, kelam atau tentram, indah atau malah membuatku ingin marah. Pikiranku kini melayang jauh menyeberangi lautan ruang dan menembus lingkup waktu. Rasanya, sore ini ada hal yang membuat hatiku terasa, berbeda.
Dalam diamku yang sedang meraba-raba kenangan buram itu, langit senja telah memancar merah diselingi mega-mega yang mengapung bebas diangkasa. Cahayanya Merambat keseluruh penjuru bumi, dan salah satu pancarannya sampai padaku, Mengelus lembut tepat diwajahku. Entah mengapa kini hatiku terasa begitu damai Merasakan hangatnya pergantian waktu. Sambil menengadah kearah bentangan langit Yang sedang digerus gulita, makin laun mataku makin mengatup. Sebuah kilasan masa lalu tiba-tiba tersirat dalam benak.
'Umi..umi…'teriakan seorang anak terdengar dari jalan diseberang sana. Suaranya yang mungil menggemaskan begitu kurindukan dengan amat sangat. Spontan, mataku langsung terbuka dan lamunanku segera buyar. Selang beberapa detik, senyum bahagia mekar indah dibibirku. Tanganku terbuka lebar menyambut kedatangan pangeran kecilku, Annas, putra kesayanganku yang selalu ceria.
'Umi…umi..'tangan kecil Annas menarik pelan jilbabku yang menjulur panjang seperti biasa. Wajahnya merah merona menyiratkan rasa antusias yang meluap-luap, 'Abi punya hadiah untuk Umi…'
Hatiku tersentak kaget. 'Hadiah?' Alisku jadi naik, sebelah. Pandanganku Langsung kulempar jauh ke seberang jalan tempat Annas berlari tadi. Disana, kudapati seorang laki-laki sedang memberi isyarat pada Annas dengan meletakkan jari telunjuknya didepan mulut. Dari tatap matanya aku bisa membaca arti isyarat itu ia sedang berkata, 'Jangan beritahu Umi, nak'.
Melihat tingkah mereka aku merasa geli dan tanpa sadar tertawa sendiri. Senyumku yang mekar makin merekah. Seketika, aku bersyukur menyadari kehadiran dua laki-laki penting itu dalam hidupku. Karena, dia,?
***
Muhammad Rahman, sesosok ikhwan tampan yang menjadi idaman kaum akhwat dikampus. Aku sering berpapasan dengan laki-laki jangkung itu kala sore saling sapa dengan gulita. Aku masih ingat bagaimana kilauan senja menerpa lembut wajahnya. Aku ingat bagaimana halusnya angin yang menghantarkan harumnya padaku. Wanginya yang selalu dibuat syaitan sengaja menggoda imanku kala itu. Memang, Gambaranku tentangnya sangat berlebihan. Tetapi, itulah yan katanya orang, 'jatuh cinta'. Saat semua kata-kata buaian bersambung pujian menjadi sah-sah saja dikatakan untuknya. Ya, untuk dia.
Tak pernah kubayangkan sebelumnya dan tak pernah sekali pun terpikir olehku untuk menjadi wanita yang spesial baginya. Seakan-akan, hal itu terjadi begitu saja tanpa diduga-duga, tanpa ditanya kedatangannya. Hari itu ia menghampiriku dan langsung menyatakan perasaannya padaku, tanpa malu.
'Ukhti, sebelumnya, afwan…Tapi, ana harus sampaikan hal penting ini pada ukhti. Sekali lagi afwan. Sebenarnya ana punya perasaan lebih ke ukhti. Ana...ana suka sama ukhti. Afwan karena ana lancang punya perasaan ini. Tapi ana juga laki-laki biasa yang bisa merasakan suka pada wanita, terlebih sosok wanita seperti ukhti yang hijabnya rapi menutup aurat, yang rajin sholat, yang…..'
Kesan pertama yang kudapat dari sikap keberaniannya adalah, kagum. Namun, bagian kecil dalam hatiku langsung menghardik. 'Memalukan!' kata bagian kecil itu pada Rahman. Berkali-kali aku mencoba menyingkirkan bagian kecil itu dari hatiku agar rasaku utuh hanya untuk si pria idaman. Ya, jangan heran. Dulu aku memang menyebutnya pria idaman Jujur saja, dulu aku senang bisa memiliki dan dimiliki olehnya. Coba bayangkan, diantara begitu banyaknya akhwat yang juga suka padanya dalam lingkup UKMI yang setiap hari saling berjumpa, akulah yang menjadi satu-satunya. Dulu, tentu aku merasa tersanjung dan bangga walau hubungan kami adalah
rahasia. Disetiap kegiatan dakwah dan perkumpulan, tujuan kami datang bukan lagi karena Allah, melainkan karna ingin berjumpa, ingin saling berada dalam kelompok yang sama, ingin tersirat berduaan dalam keramaian berbagai agenda keislaman. Benar benarmemalukannya kami waktu itu. Dengan bodohnya kami sebut hubungan itu bukan pacaran hanya karena hubungan itu tanpa status. Dengan tak tau dirinya kami bilang kami melakukan cara itu karena kami adalah ikhwan dan akhwat yang mematuhi larangan Islam. Padahal, bila ada yang menggoda, kami cemburu dan marah. Ungkapan-ungkapan cinta terus-terusan diungkap dan membuat nafsu membuncah. Hingga sesekali, saat aku mulai menyadari kembalinya kesadaranku, aku jadi bertanya-tanya sendiri, 'Mengapa yang kami lakukan malah seperti zina dengan cara Islam?'.Sungguh sangat aneh.
Dan pada akhirnya, diujung titik keterlenaanku akan hubungan itu, tiba-tiba ada rasa jenuh yang mulai menggerogoti. Ternyata, disitulah Allah menunjukkan arti cinta yang sesungguhnya. Ketika aku terbangun tahajud, aku sepenuhnya sadar dalam dekapan senyap malam. Aku benar-benar menyesali kebodohanku yang mementingkan Rahman ketimbang Tuhan. Ternyata, bagian kecil dalam hatiku yang hendak kusingkirkan itu bukan menghardik Rahman, melainkan diriku sendiri. Bagian kecil itu adalah cara Allah agar aku mengingat-'Nya' dan peringatan agar aku segera menyingkirkan'nya'dari hatiku.
Sepanjang waktu menjelang subuh, aku terus-terusan memikirkan perasaan dan Hubunganku dengan Rahman. Benar saja, aku terlambat menyadari kebenaran bahwa Selama ini yang kami lakukan adalah, salah. Wajarnya, seseorang yang pantas disebut sebagai ikhwan bukanlah yang suka mengumbar perasaan dan melayani perintah syaitan. Seharusnya, seorang wanita yang disebut akhwat adalah yang bukan mengikuti syahwat. Walau yang kami lakukan hanyalah saling mengungkap kata cinta lewat sms, telpon dan chat, hal itu sudah termasuk zina. Zina hati yang tak pantas dimiliki ikhwan, akhwat dan muslim sejati.
Tak terasa bulir-bulir airmata mulai berjatuhan. Dan kini yang kupikirkan hanya satu,'Akhiri hubungan ini. Hentikan semua kelakuan yang tiap hari kian memupuk dosa. Semua kata rayuan, buaian dan pujian harus hanya ditujukan padaNya. Ya, hanya untuk Dia'.
Walau sebenarnya aku tak mampu menyatakan keputusanku pada Rahman, aku tetap berusaha memberitahunya lewat kata-kata dalam secarik kertas. Aku memberinya sebuah surat secara langsung, tepat ketika ia meminta bertemu untuk berpamitan karena akan melanjutkan studi S2nya diluar kota. Aku hanya menemuinya sebentar, memberikan sepucuk surat dan kemudian pergi. Tak lupa juga aku mengembalikan hadiah pemberian darinya yang berupa sebuah jilbab berwarna merah muda yang di dalam kotak hadiah itu aku menyelipkan kata-kata, 'Berikan ketika itu sudah pantas diberikan'. Kemudian, aku membiarkan ia membaca surat itu sendirian. Aku ingin ia meresapi tiap-tiap untaian luapan hatiku dalam lembaran kertas itu. Biarlah perpisahan itu terjadi demi pertemuan yang lebih lama (jika dikehendaki oleh-Nya).
Assalamu'alaikum,akhi.
Ya, seperti yang akhi baca, kini aku memanggilmu dengan sebutan akhi. Seperti pangilanku pada laki-laki lain yang kuanggap saudara se-iman, saudara se-islam. Jangan Tanya kenapa tak adalagi kata sayang yang keluar dari bibirku. Jangan! Jangan Berharapakan hal itu lagi akhi. Akhi pasti tau. Namun, sayangnya, selama ini kita pura-pura tak tau kalau kita ini belum pantas.
Akhi, memangnya, siapa dirimu yang selalu membuatku berpaling dari Dia yang paling mencintaiku? Taukah akhi betapa Dia sangat mencintaiku? Dia tak pernah marah kala aku berpaling darinya. Dia adalah yang paling sabar diantara yang sabar. Dia tak pernah marah ketika laki-laki lain mencoba mendekatiku. Tidak seperti dirimu yang murka melihat aku didekati ikhwan genit lain, seakan-akan aku ini sudah menjadi milikmu. Memangnya, siapa dirimu akhi? Apa yang bisa kau beri untukku? Apa yang bisa kau Jamin untukku sedangkan kau selalu berkata, 'tunggu aku menjadi orang yang mapan dan sukses'. Sampai kapan aku harus menunggu untukmu. Mengapa aku harus menunggumu yang tak pasti sedangkan ada Dia yang pasti dan selalu memberi lebih untukku? Dia yang memberiku helaan nafas tiap hari, Dia yang menjamin rezeki,
kesehatan, dan kebahagiaan untukku. Hanya saja, aku sudah keterlaluan bersama denganmu hingga aku membuatnya cemburu. Namun, dalam kecemburuannya ia tetap mencoba mengingatkan dengan indah, tak seperti dirimu.
Akhi, kau pasti tau siapa Dia. Kau bukanlah tandingannya dan tak akan bisa menjadi tandingannya. Tapi jika kau mau, kau juga bisa dicintai olehnya karena ia memberikan cinta pada semua.
Akhi, maafkan aku yang membantumu terjerumus dalam tipu daya syaitan. Kesalahanku sama besarnya denganmu. Jadi, tolong bantu aku mengakhiri dosa kita ini. Jangan lagi datangi aku kecuali kita benar-benar sudah pantas dan siap Menyempurnakan separuh agama kita. Akhi, kita pernah saling cerita bagaimana cara hijrah kita yang begitu miripnya. Kini kau tau kan akhi, kita berdua ternyata belum berhijrah selama masih ada rasa. Mari kita buat cerita hijrah kita benar-benar serupa dengan mengakhiri ini bersama-sama.
Wassalam….
'Ummii….'Annas kian merengek melihatku yang sedari tadi ternyata tak menanggapinya. Aku tak sadar, ternyata aku sedang terlarut dalam renungan, renungan masa laluku. Annas masih merengek, tetapi ketika Abinya menghampirinya, mengelus lembut kepalanya dan mengatakan sesuatu padanya, seketika Annas pun masuk ke dalam rumah.
Aku dan suamiku kini berdua diluar rumah. Karena sudah kenal betul bagaimana
diriku, ia langsung bertanya dengan penuh kasih sayang, 'Umi….Ada apa? Apa yang sedang umi pikirkan?'ucapnya dengan senyuman lembut.
Aku bergeleng pelan, 'Bukan apa-apa Bi, Cuma teringat kenangan beberapa tahun yang lalu' jawabku dengan senyuman termanis pula.
Diantara keheningan malam, dalam bingkai cahaya rembulan, suamiku tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak hadiah. Ternyata benar yang dikatakan Annas tadi, ia memang ingin memberiku sesuatu.
'Maaf, aku memberikannya terlambat beberapa tahun' ujarnya sambal mengulurkan kotak itu padaku.
Aku pun langsung membukanya dan kudapati sebuah jilbab berwarna merah muda dan selipan kertas bertuliskan, 'Kuberikan sekarang, karena ini sudah pantas diberikan'
___ ___ ___
"Aku tau kamu mencintaiku. Tapi, maaf, cinta Allah lebih besar untukku...
Namun, bagiamana bila ungkapan cinta Allah ternyata adalah sebuah hadiah dalam bentuk dirimu?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar