Oleh: Jam'ah Alfi Hidayah
Aku yang malang akan semua ini, mungkin Allah sedang menguji diriku, seberapa aku akan
mampu dengan cobaan ini. Bukannya dia tidak sayang denganku, tapi ini suatu bentuk sayangnya
kepadaku. Setiap cobaan yang dia berikan kepadaku, aku percaya Allah berikan yang terbaik untukku
dihari ini esok dan kemudian. Nur Azifa, sebuah nama yang sangat indah. Pemberian dari orang tua
tercintanya.
Hatiku bergetar seperti ada sengatan jika mendengar namanya dipanggil dihadapanku. Sejak
dulu nama itu selalu saja terbawa oleh hatiku yang malang ini, ntah ini suatu pertanda kebahagian atau
suatu kepedihan untukku.
"Bruk......" suara buku terjatuh di atas lantai.
"Astaghfirullahaladzim!!". Ucap Azifa terkaget.
"Kamu fikri, ngagetin saya saja, sudah lama kamu disini?" tanya azifa kepadaku. M. Fikri
adalah namaku, nama yang in sya allah selalu diingat oleh Azifa sampai kapan pun.
"Tentunya, sedari tadi saya disini, dan saya melihatmu berdiri di sini sendirian!!" jawabku.
Azifa pun tersenyum melihat ke arah buku yang kubawa. Aku merasa heran kenapa dia begitu dalam
memandang buku tersebut, seperti ada yang aneh saja.
"Kenapa kamu pandangin buku ini? Ada yang unik ya?" tanyaku dengan perlahan. Azifa pun
menjawab dengan senyuman yang begitu indah sekali. Bahkan hatiku berkata, "Pantaskah aku
menjadi pendampingmu, Zifa???". Secepat mungkin aku menghilangkan lamunan tersebut.
"Buku itu sangat bagus sekali, bahkan saya bisa berulang-ulang membacanya, apakah kamu
juga suka membaca buku ini, Fik?" tanya Azifa kepadaku.
Aku pun menganggukkan kepala berulang-ulang. Pertemuanku kali ini bagaikan suatu yang
tak pernah aku rencanakan, aku berfikir Allah sedang merencankan sesuatu lagi untukku. Aku harus
siap akan semua ini, harus siap akan kedatangan Azifa yang telah lama hilang, harus siap dengan
dunia baruku. Semua atas kehendak Allah, aku selalu percaya itu. Aku pun bergegas meninggalkan
Azifa dari perpustakaan, ia selalu melemparkan senyuman indahnya kepada siapa saja yang berjumpa
dengannya.
Ia begitu ramah dan sopan. Matanya indah bagaikan rembulan. Senyuman itu yang selalu
membuat hatiku semakin yakin atas takdir Allah. Setelah sampai di parkiran, aku segera mengendarai
motor kesanganku, kupakai helm di kepala, dan kutancap gas menuju keluar gerbang kampus itu
Diperjalanan aku sangat bahagia, senyuman Azifa seolah-olah membayangiku, pertemuan yang indah
untuk hari ini. Angin sepoi-sepoi dan udara yang tidak begitu panas menambah indahnya hariku ini.
Tak lupa kuucapkan "Alhamdulillah" rencana Allah hari ini sangat indah sekali, aku sangat
bersyukur, aku menanti rencana-Nya selanjutnya. Lelah pun tak kurasa lagi hari ini. Tak lama
kemudian aku sudah sampai di gang rumah. Rumahku memang tidak sebagus rumah Azifa, tapi rasa
hatiku melebihi indahnya dari rumah Azifa.
"Rumahku sederhana, pantaskah aku dengannya??''. Tiba tiba aku berpikir seperti itu. Ntah
kenapa dan apa yang sedang terjadi lagi kepadaku. Tak perlu kupikirkan, ini hanyalah pikiran buruk
yang membuat diriku lemah. Aku pun segera masuk kerumah, kulepas helm kesangan dan kuletakkan
di lemari hias. Setelah selesai membersihkan diri aku segera makan, bunda sudah menunggu dari tadi.
"Assalamu'alaikum Bunda, pasti masakannya enak Bunda!!". Aku pun sudah tak sabar lagi
ingin menikmati masakan bundaku.
"Wa'alaikum salam, kenapa denganmu, Fikri? Sedari tadi senyum-senyum aja, apakah ada
seseorang yang membuatmu bahagia??". Tanya bunda kepadaku seperti orang yang sedang
kebingungan, dan sambil menuangkan air untukku.
Banyak sekali nasehat yang diberikan bunda kepadaku. Aku mengambil semua nasehat- nasehat dari bunda. Kutelan habis-habis nasehat itu. Agar aku selalu ingat apa yang dikatakan bunda.
"Bunda, setelah makan, Fikri mau kasih sesuatu cerita yang indah sekali untuk Bunda, cerita ini
khusus untuk Bundaku!!". Senyuman Fikri meyakinkan bunda yang penasaran.
"Fikri mau cerita apa sama Bunda? Biasanya juga Fikri langsung cerita, tanpa memberitahu
Bunda terlebih dahulu...". Raut wajah bunda seperti sangat penasaran sekali, mungkin bagi bunda hari
ini aku sangat berbeda.
"Ceritanya berbeda, Bunda...!!, tak pernah Fikri temui hal seperti ini, Bunda...!". jawabku seolah
menyakinkan bunda.
"Baiklah, setelah makan, Fikri temui Bunda di ruang tamu ya!!". Bunda pun bergegas menuju
ke kamarnya.
Dan tak lama kemudian, aku pun sudah selesai makan, kubereskan semua makanan yang ada
di atas meja, aku menyapu, mencuci piring. Bahkan pekerjaan bunda bisa aku selesaikan secepat
mungkin. Bagi bunda, aku anak yang sangat bisa diandalkan. Aku dan bunda bagaikan sebuah team
yang sangat kompak sekali. Bahkan kompaknya keluarga Rafi Ahmad masih kompak aku dengan
bunda. Bagiku tidak ada yang dapat menyaingi kami berdua. Dan aku pun segera menuju ruang tamu.
Bunda.... Fikri langsung cerita aja ya..!!". tanyaku pada bunda dengan senyum-senyum
bahagia.
"Emmmmmm gimana ya, Fikri boleh gak ya cerita....!!". Tatapan bunda seperti tidak
mengizinkanku untuk bercerita. Aku pun merasa sedih dan raut wajahku berubah bagaikan orang yang
tak punya semangat.
"Bunda pleasee, boleh ya...!!". Aku pun meyakinkan bunda dengan raut wajahku yang sangat
sedih sekali.
Bunda menatapku seperti orang yang sangat peduli sekali, dalam hatinya seperti teriris luka
yang begitu dalam. Bunda memang orang yang tidak bisa melihat orang lain memohon kepadanya.
Bahkan ia tidak akan membiarkan orang memohon kepadanya. Bagiku bunda orang yang terbaik di
dunia ini, aku bersyukur memliki bunda sepertinya.
"Iya Fikri, silahkan cerita sama Bunda. Bunda siap mendengar cerita dari Fikri, bahkan Bunda
sangat siap sekali setiap saat Fikri cerita....!!". Bunda pun tersenyum kepadaku.
"Makasih ya, Bunda, Fikri cerita ya...?". Aku pun menarik nafas dalam-dalam dan dikeluarkan
lewat mulut. Berulang-ulang aku lakukan seperti itu. Rasanya lidahku kelu sekali, jantungku berdebar,
bahkan aku sangat gelisah. Kenapa denganku, ada apa dengan semua ini, kenapa aku tidak dapat
berbicara. Berulang-ulang aku menarik nafas, bahkan tak henti-hentinya. Tapi masih saja aku sulit
mengungkapkan kata-kata itu. Aku pun panik dengan semua ini, kenapa aku tidak bisa
mengucapkannya, dalam hati aku memohon kepada Allah.
"Tolonglah hamba ya Allah, kenapa aku tidak dapat bersuara, kemana suaraku, bunda tolong
Fikri, kenapa Fikri tidak bisa mengeluarkan suara, kenapa denga Fikri Bunda??.... Bunda.....Bunda...
Bunda tolong Fikri Bunda.....!!".
Sepertinya jeritanku tidak terdengar oleh bunda, aku pun berusaha agar bunda tau bahwa aku
tidak bisa bicara. Raut wajah bunda semakin lama semakin berubah, bunda terlihat sangat bingung
sekali. Bunda pun memandangku dalam-dalam.
"Fikri, kenapa kamu Nak?? Ada apa denganmu, Nak...??". Bunda pun sepertinya terlihat
bingung dan cemas, ia pun menggoyang-goyangkan tubuhku. Tapi apalah daya, aku tak dapat
bersuara, hatiku seolah menangis, sudah berkali-kali aku mencoba untuk bersuara, tapi tetap saja tidak
bisa. Suaraku hilang. Bahkan tak kusadari air mata menetes dan mengalir pada pipiku. Bunda pun
semakin panik. Ia bingung kenapa aku menangis dan aku tidak bersuara.
"Fikri jawab Bunda, kenapa kamu diam saja, kenapa kamu menangis, kenapa kamu tidak
berbicara Fikri, bicaralah Fikri. Jangan buat Bunda cemas....!!". Berulang-ulang bunda mengatakan
seperti itu, bahkan bunda meneteskan air matanya bahkan bunda mengubah posisi duduknya
dihadapanku. Dan aku pun mengambil secarik kertas dan pena, kutulis dilembaran kerta itu.
"BUNDAKU SAYANG, INI MUNGKIN TAKDIR ALLAH, AKU TAK DAPAT
MENCERITAKAN SECARA LANGSUNG KEPADA BUNDA, TAKDIR ALLAH BERKATA
LAIN BUNDA, ALLAH SEDANG MENGUJI FIKRI, SUARA FIKRI TIDAK ADA LAGI
BUNDA, DAN FIKRI TAK DAPAT LAGI BICARA".
Sebuah tulisan yang kutulis pada secarik kertas itu lalu kuberikan pada bunda, air mata
menjadi saksi akan tulisan tersebut. Dan bunda pun perlahan membacanya. Setiap kata demi kata ia
baca. Sepertinya bunda sedang menyembunyikan kesedihannya. Dibalik senyum bunda yang tenang,
terlihat jika ia sangat terpukul sekali akan kejadian ini. Dipeluknya diriku erat-erat. Diusapnya air
mataku, dan ia memandangku dengan tersenyum.
"Bersabarlah anakku, ini ujian dari Allah, jika kamu mampu ikhlas dan bersabar, suatu saaat
nanti pasti akan digantikan semua ini dengan sebuah yang tak pernah kita duga, Fikri...!!". Lagi-lagi
senyuman bunda yang bisa menenangkanku. Aku sadar bahwa tidak harus sekarang aku bercerita
kepada bunda. Dalam hati aku bergumam.
"Bun, maafkan Fikri tidak bisa cerita akan hal kebahagian itu, padahal Bunda sudah menunggu
sedari tadi, maafkan Fikri, Bunda....!!".
Kini matahari pun sudah tidak menampakkan dirinya lagi. Dan aku segera menuju ke
kamarku. Sebelum tidur, bunda selalu menjengukku ke kamar.
"Fikri belum tidur?? Tidur ya, besok kamu harus ke kampus...". Sambil menyelimuti diriku.
Kemudian bunda pun keluar dari kamarku. Aku berfikir akan perkataan bunda tentang kuliahku
besok.
"Mana mungkin aku bisa kuliah dengan keadaanku seperti ini, aku yang tak bisa bicara
bagaimana aku bisa kuliah...!!".
"Apakah berat cobaanku ini ya Allah, bagaimana jika nanti aku bertemu dengan Azifa, aku tak
dapat menyapa Azifa lagi...!!!". Aku pun menangis dan hanya bisa membayangkan akan hal tersebut.
Tapi aku yakin dibalik ini semua pasti bisa. Tak lama kemudia aku pun segera tidur. Karna mataku
sudah tak dapat menahan kantuk ini lagi. Sebelum tidur aku berdo'a kepada Allah semoga esok aku
masih bisa berjumpa dengan bunda dan Azifa, wanita yang selalu ada dalam hatiku.
"Bismika allahumma ahyaa wa bismika amuutu.....". Aku pun menutup mataku dengan
perlahan.
"Kringgggg kringgg kringggggg". Alarm membangunkanku saat adzan subuh. Aku pun
terbangun. Tapi apa yang kudapat. Ruangan di kamarku sangat gelap sekali, bahkan aku tak dapat
melihat cahaya sedikit pun, ruangan itu sangat gelap sekali. Aku mencoba mencari penerangan di atas
lemariku. Tapi aku malah menjatuhkan benda itu ke lantai. "Prakkkkkk....."
"Astaghfirullahaladzim...". Ucapku kaget. Dan aku segera bangun dari tempat tidur, mencoba
mengambil alat penerangan yang jatuh di lantai itu. Tanpa kusadari aku sudah bisa bicara kembali.
"Alhamdulillah, kini aku bisa bicara kembali. Terimakasih ya Allah...!!". Aku pun bersujud
syukur". Tiba-tiba seperti ada suara bunda yang sedang berbicara kepadaku. Sepertinya bunda sudah
tau kabar gembira ini, bahwa aku sudah bisa bicara kembali.
"Alhamdulillah ya Allah, kini Fikri sudah bisa bicara kembali....!!". Bunda pun memelukku.
Terdengar dari suaranya, ia sangat terharu dengan kejadian ini. Bagiku suatu nikmat yang memang
Allah tak pernah dustakan. Kini aku telah bisa bicara kembali. Allah memang merencanakan yang
terbaik untukku.
"Apa yang kamu lakukan, Nak??, kenapa kamu seperti itu Fikri?". Tiba-tiba bunda menanyakan
hal sesuatu yang terjadi kepadaku.
"Bunda, di kamar ini sangat gelap sekali, apakah listrik di rumah kita padam Bunda? Apa kita
belum membayar tagihan listrik, Bunda??.". Ucapan Fikri mengagetkan bunda yang berdiri
dihadapannya.
"Apa kamu tidak melihat Bunda Fikri??, Bunda ada di depan kamu...!!". Ucap bunda dengan
nada yang kaget.
"Apa?? Bunda ada di depan Fikri??". Aku pun terkaget, aku mencoba mencari bunda dengan
meraba-raba apa yang ada dihadapanku. Aku seolah seperti orang buta.
"Fikri, kamu tidak bercanda kan, Nak??, kamu serius Fikri jika ruangan ini gelap....?". Nada
bicara bunda seperti orang yang sedang menahan tangis.
"Bunda kenapa, Bunda..??, Fikri sedang tidak bercanda, Fikri serius Bunda...!!". Aku pun
bingung apa yang sedang terjadi sebenarnya di rumah ini. Dipeluknya diriku erat-erat, pelukan itu
seperti tidak ingin berpisah denganku. Pelukan yang paling damai di dunia ini. Bunda pun tidak
bertanya-tanya lagi padaku, ia terus memelukku sambil menangis terisak- isak.
"Kenapa bunda menangis?? Fikri tidak kenapa-napa, Bunda, karena tagihan listrik kita saja yang
belum dibayar, sehingga ruangan ini sangat gelap sekali....!!". Jawabku dengan tenang. Bunda pun
membantu aku untuk keluar dari kamar ini. Lalu bunda membawaku ke ruang tamu. Aku duduk
disamping bunda. dari tadi bunda diam saja, dia tidak berbicara sepatah kata pun.
Kenapa Bunda diam saja dari tadi?? Ayo bicaralah Bunda, ini gelap sekali Bunda....!!". Aku
membujuk bunda agar ia mau berbicara padaku.
"Fikri anakku sayang, ketahuilah Nak, kamu harus bersabar. Bunda yakin. Allah sangat sayang
pada Fikri, semua yang terjadi sudah rencana Allah. Pasti suatu saat nanti semua ini yang terbaik
untuk Fikri. Semuanya milik Allah, semuanya bakal kembali kepada Allah. Apa yang diberikannya
dapat begitu saja Allah mengambilnya. Karna kita hanya dititipkan saja. Semua yang dititipkan akan
kembali pada tuannya. Pasti akan diambil oleh tuannya. Fikri percaya itu kan....??''. Suara bunda
sangat lirih sekali. Lalu kujawab,
"Fikri sangat percaya, Bunda, terimakasih untuk semuanya, Bunda, yang selalu ada disamping
Fikri...!". Mataku berlinang saat aku mengungkapkan itu pada bunda.
"Ketahuilah Fikri, di rumah ini sedang tidak padam listrik. Di rumah ini terang nak, tidak ada
yang gelap di rumah ini Fikri....!!". Jawab bunda dengan tenang. Aku pun terkaget mendengar itu.
Mendengar pernyataan bunda. Dadaku sesak, nafasku seolah terhenti. Seakan aku tidak layak hidup di
dunia ini. Semangatpun seperti tak ada lagi. Bunda berkali-kali memelukku sambil memberi
semangat. Aku pun tersenyum akan musibah ini, atas ujian ini. Allah terlalu sayang padaku.
"Bunda, Fikri sadar, semua ini milik Allah, Bunda, dan memang harus dikembalikan...".
Keesokan harinya pun aku diantar ke rumah sakit oleh bunda. setelah sampai di rumah sakit aku
diceck oleh dokter spesialis mata. Tak lama kemudian, dokter tersebut berbincang kepada bunda.
"Anak Ibu, menderita penyakit buta sepanjang hidup. Dan itu tidak dapat disembuhkan. Dan
bahkan banyak sekali saraf-saraf mata anak Ibu yang rusak. Dan juga sudah mulai ke otak anak Ibu.
Diperkirakan umur anak Ibu kurang lebih 3 bulan lagi....!!". Seolah-olah nafasku terhenti mendengar
pernyataan dokter tersebut.
"Dokter, kau bukan Allah. Yang bisa bicara seenaknya bahwa mataku tidak bisa disembuhkan,
kau tak bisa menentukan takdirku. Dan kau tak bisa menentukan nyawaku. Sekali lagi, kau bukan
Allah. sakit datangnya dari Allah, pasti sembuhnya datang dari Allah juga. Pasti Allah memberikan
kesembuhan untukku. Aku percaya itu.....!!".
Suaraku tinggi akan hal pernyataan itu. Aku sangat kecewa sekali atas pernyataan dokter
tersebut. Aku segera mengajak bunda pergi dari rumah sakit tersebut. Setelah sampai di rumah aku
hanya bisa terdiam atas semua ini. Tapi semua ini tidak boleh membuat aku lemah. Aku percaya atas
kuasa Allah.
Walaupun aku tak dapat melihat, tapi aku bisa melihat wajah bunda dan Azifa dalam
pikiranku. Mereka selalu ada dalam pikiranku.
Bulan berganti bulan bahkan tahun berganti tahun. Walaupun aku masih dalam keadaan buta,
tapi semua itu tidak pernah menghalangiku untuk membanggakan bunda tercinta.
Bertepatan pada tanggal 18 desember 2014 dengan bangganya baju ini kupakai. Walaupun aku
tidak dapat melihat, tapi saat itu aku sangat bisa melihat bundaku. Dan aku juga merasakan kehadiran
Azifa saat-saat moment wisudaku. Aku terfokus pada seseorang wanita dengan anggunnya duduk di
sudut sana, dia adalah bundaku tercinta dan Azifa. Dua wanita yang begitu luar biasa. Tak lama
kemudian MC berseru.
"Selanjutnya kami panggil 9 lulusan terbaik tingkat Universitas Islam Negri Malang :
1.M.Fikri, S.Sos. Lulusan terbaik pertama Program Sarjana Strata-1
2....
3.......
9......
Rektor Universitas Islam Negeri Malang, dan pimpinan BNI, BRI, dan BCA Malang dimohon
berkenan menyerahkan cinderamata!!!".
Dengan tetesan air mata aku naik ke atas panggung untuk menyampaikan sepatah dua patah
kata. Bunda menangis melihat diriku naik ke atas panggng. Ia sangat bangga padaku. Setelah selesai
menyampaikan sepatah dua patah kata, aku segera turun. Di bawah sana bunda sudah menungguku.
Dan dipeluknya aku erat-erat sambil menangis. Baru kali ini aku merasa bunda menangis tersedu- sedu. Dan tak lupa Azifa memberikan ucapan selamat kepadaku.
Setelah acara selesai, bunda mengajakku keluar menuju sebuah tempat khusus. Diceritkan oleh
bunda tentang tempat ini. Tempat ini sangat indah sekali, bunda sangat percaya bahwa aku dapat
melihat tempat tersebut. Diceritakannya tentang diriku. Tentang caraku menjalani hidup. Dimulai aku
tidak buta, saat aku tidak dapat bicara hingga buta seperti ini. Hatiku terdiam dan kupejamkan mata
secara perlahan. Kunikmati setiap untaian cerita dari bunda. Dan pada akhirnya cintanya Allah SWT,
bunda dan Azifa memang membebaskanku dari semua ini.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar