Vs. The Perfectionist
(Penulis: Auva Rusyda)
Mereka bilang sungguh beruntung menjadi seorang kekasih Ardhan Saputra.
Tidak ada yang mengenal seorang Ardhan Saputra, salah satu kepala bidang yang paling muda. Berhasil menjabat di usia 27 tahun dengan segala kecerdasannya, kemampuan komunikatif yang mencengangkan, dan hasil kerjanya yang selalu sempurna tanpa cela. Ya, hasil kerjanya dan divisinya yang selalu diserahkan dengan tingkat kesempurnaan yang tinggi. Hasil dari tangan dingin Ardhan Saputra dan bentuk dari standar kesempurnaan yang ia selalu junjung tinggi.
Sederhananya, dia adalah manusia yang kau sebut dengan perfeksionis—biar kutekankan lagi, perfeksionis menyeramkan yang menjabat sebagai kepala bidang dengan menakutkannya.
Oh, kalian tidak salah mendengarnya, Aku memang menyebut kata menyeramkan dan menakutkan sekaligus. Sebuah pemborosan kalimat yang jika Aku menuliskannya di laporan, Yang Terhormat Ardhan Saputra itu akan menyilang selembar dari laporan itu dan melemparkan laporannya di hadapan mata kami lalu memberikan pidato singkat dimana akhirnya ia akan meminta laporan hasil revisi dalam 30 menit tanpa telat sedikitpun. Begitulah kinerjanya sebagai kepala bidang, berhasil membuat divisi kami menjadi divisi paling menakutkan di kantor ini.
Tapi, tidak, Aku tidak mengatakan bahwa semua orang mengenal sosok itu karena keseramannya. Ia adalah sang perfeksionis yang segala senti tubuhnya memang ciptaan Tuhan yang sempurna—oh, bukan Aku yang mengatakan, oke? Pujian yang tingginya tidak masuk akal itu adalah gosip para pegawai wanita dengan suara keras penuh jeritan di kamar mandi atau kafe di luar kantor ketika istirahat. Baiklah, jika dilihat dengan kacamata kuda, gosip itu memang tidak salah. Maksudku, bagaimana bisa para wanita menyebutnya menyeramkan ketika badannya sungguh sempurna dari keatletisannya dan tingginya, suaranya yang mematikan, wajahnya yang tampak seperti pahatan indah, otaknya yang tidak bisa diragukan lagi, dan kantongnya yang tebal? Akhirnya, kekejamannya itu dimaafkan karena ia ganteng—tragis memang, tapi mereka menyebutnya hukum alam.
Maka dari itu, tidak salah sebenarnya kalau para pegawai butik ini mengatakan bahwa Aku adalah wanita paling beruntung sedunia. Oh, tentu saja, wanita manapun akan lemah tak berdaya jika seorang Ardhan Saputra menjemputmu di depan rumahmu dengan penampilan sempurnanya itu, mengajakmu menaiki mobil belasan milyarnya, dan pergi bersama untuk membelikanmu gaun berharga fantastis di butik high class Ibukota sebelum memenuhi undangan Gala Dinner kantor.
Dan, begitulah yang terjadi padaku malam ini.
"Aku ingin memakai gaun ini, Ardhan." Aku mengembalikan tumpukan gaun yang ia pilih untukku dan melancarkan tatapan menantang meski Aku harus sedikit menjinjit dengan heels 2 sentiku—oh, ayolah, melawan badan setinggi itu, Aku harus berkorban agar terlihat garang.
Hem, apakah Aku sudah menyebutkan bahwa itu terjadi pada wanita manapun tapi tidak denganku? Ya, kenyataannya, itu tidak berlaku bagiku, seorang Dinandra Santika adalah satu-satunya wanita yang lebih suka mendapatkan gelar wanita paling sial sedunia daripada harus melanjutkan jabatan sebagai kekasih Ardhan Saputra.
"Kamu harus mendengarkan perkataanku, Dinan."
"Oh, biar kuingatkan sekali lagi, di luar kantor kau bukan lagi kepala bidangku, Yang Terhormat Ardhan Saputra."
Ia mengerenyitkan alisnya—Aku tahu betul betapa ia benci embel-embel Yang Terhormat barusan, "biar kuingatkan sekali lagi, Dinan, di Gala Dinner yang kita akan kunjungi nanti Aku tetap kepala bidangmu."
"Sepertinya kamu lupa bahwa Aku juga akan datang sebagai pasangan dari kepala bidang yang mendapat undangan, bukan pegawaimu, oke, Ardhan?"
"Kalau kamu mengingatnya, kamu juga bisa ingat bahwa kamu tidak boleh memalukanku, bukan?"
Bagus sekali. Aku sudah mempertahankan diriku sebisa mungkin, namun ia berhasil melepaskan serangan mematikan. Aku mungkin tidak seperti perempuan lainnya yang kesenangan mendapat perlakuan spesial dari pria tampan nan berkantong tebal seperti dirinya, tapi, perempuan mana yang bisa mempertahankan mukanya ketika dikatakan bahwa ia memalukan pacarnya sendiri?
Ia tidak berubah sejak pertama ia mengajakku dinner di malam pertama setelah ia memintaku untuk berpacaran dengannya. Ia selalu memilihkan baju untukku sebelum kami pergi bersama—biar kutekankan lagi, selalu. Ya, awalnya Aku memang melayang dan berteriak dalam hati bahwa gelar wanita paling beruntung sedunia telah berada di tanganku. Tapi, kini Aku tidak bisa lagi mengatakan itu so sweet ketika pada akhirnya Aku hanya merasa bahwa ia tidak suka dengan segala seleraku. Bahwa sang perfeksionis ini merasa jijik jika harus pergi bersama denganku yang masih tampil dengan apa yang kusuka, kecuali Aku yang sudah ia poles demi mencapai kesempurnaan miliknya itu.
Orang-orang bilang cinta itu membebaskan; ketika kau berada di samping seseorang yang tepat, kau tidak perlu lagi segala macam topeng yang biasa kau kenakan agar dapat diterima di masyarakat. Ia menerima dirimu seutuhnya, bukan engkau yang harus bersusah payah untuk berpura-pura menjadi orang lain.
Jika itu merupakan salah satu keidealan cinta, apakah memilih untuk bersama dengan laki-laki yang memaksakan seluruh standar kesempurnannya ini juga dapat disebut dengan cinta?
Jawabanku adalah tidak.
Sesederhana itu jawabanku. Entahlah, mungkin 5 bulan lalu, ada sebuah jin wanita yang merasuki diriku agar aku merasa melayang ketika ia mengajakku untuk pacaran dengannya pada malam lembur kami berdua di kantor. Bahkan, bisa jadi, malam itu kelelahan merasukinya untuk mengatakan kalimat paling tidak masuk akal itu ke pegawainya sendiri atau Aku yang sangat lelah hingga berhalusinasi mendengarkan ia mengatakan kalimat pamungkas itu di depan meja kantorku. Apapun itu, mereka masih merasukiku hingga saat-saat pertama kami bersama dan menipu diriku, membuatku jatuh begitu saja ketika melihat dirinya yang sangat sempurna itu sebagai milikku seorang.
Oleh karena itu, Aku sudah memutuskan bahwa malam ini adalah malam terakhir kami memiliki status ini. Tidak, jangan memintaku untuk mempertahankan hubungan ini hanya karena pasanganku adalah pria dengan paket lengkap seperti Ardhan ini. Aku tidak bisa lagi melepaskan kebebasanku hanya untuk bersama dengannya, Aku bukan boneka kesempurnaan miliknya. Oh, ayolah, ia yang selalu tidak setuju dengan seleraku hanya satu dari sekian kasus yang sudah terjadi padaku selama 5 bulan terakhir ini.
"Baiklah, Aku akan membeli yang ini, Dhan. Aku tahu, gaun ini bukan seleramu, tapi ini seleraku dan warna merah ini adalah pilihanmu. So, it's a deal."
Ya, kalau kalian memintaku untuk mempertahankan hubungan ini karena Aku hanyalah pegawainya dan pacarku adalah kepala bidangku, Aku akan goyah juga. Tapi, tidak, Aku tidak akan bertahan sebagai pegawainya yang paling lama bekerja di bawahnya jika nyaliku kecil. Satu-satunya jalan untuk memutuskan hubungan ini adalah membuatnya tidak tahan denganku kemudian ia yang akan memutuskanku terlebih dahulu. Maka, inilah yang kulakukan, menjatuhkan nilai diriku di matanya. Aku sudah mendapatkan 2 poin sebelumnya; keterlambatanku 10 menit dari waktu janjian kami dan gaun asal pilih yang bahkan tidak mencapai huruf S dari kata sempurna demi memancing emosinya di depan teras rumahku barusan. Kini, poinku sudah bertambah 1 lagi karena penentanganku yang tidak main-main lagi—biasanya, Aku memang menentangnya namun kalah pada akhirnya oleh tatapan maut miliknya itu.
Sebenarnya, gaun yang kupilih tidak sejelek itu. Seperti yang sudah kukatakan, gaun ini memang sudah sangat pantas untuk dipakai ke acara sekelas Gala Dinner. Memang, ya, gaun ini tidak memenuhi standar kesempurnaan maha tinggi Sang Ardhan Saputra. Ya, standar miliknya yang sudah dipahami oleh para pejabat kantor sehingga akan menarik perhatian mereka begitu standar tersebut tidak tercapai oleh pasangannya yang datang hanya dengan dandanan natural dan gaun yang tidak begitu mewah—pada acara-acara sebelumnya, kami muncul dengan penampilan yang sangat serasi memukaunya, hasil dari pencapaian sempurna standar milik Ardhan
"Ah, hai Ardhan, you look perfect as usual, dan.. Dinan? You look so different tonight?" Aku hanya bisa tertawa, jelas itu bukan sapaan yang mengarah kepada perubahan penampilan yang sangat drastis indahnya, sapaan kesekian kali untukku begitu menjejakkan kaki ke acara berhias kemewahan ini. Wanita ini, Rinni Anindita, benar-benar tahu bagaimana caranya menyindir di balik ucapan manisnya itu.
"And you look so amazing tonight, Rinni." Ardhan balas menyapanya.
Tidak, itu bukan sapaan basa-basi, anak kepala cabang yang satu ini malam ini memang terlihat lebih mempesona daripada biasanya. Aku yang seorang perempuan ini dapat melihat dengan jelas sehebat apa usahanya kali ini untuk tampil sempurna. Aku mendengus singkat, mulai memahami salah satu efek dari pilihanku untuk tampil tanpa mencapai standar sempurna Ardhan.
Apa kalian tahu di beberapa kondisi entah bagaimana pendengaran perempuan dapat meningkat beribu kali lipat dan dengan ajaibnya berhasil mendengar bisikan orang-orang di sekitarnya mengenai dirinya? Ya, Aku sedang mengalaminya kini. Aku dapat membaca tatapan orang-orang yang sedang berpikir hal yang sama denganku. Ternyata bukan Aku saja yang merasa bahwa Ardhan malam ini akan terlihat lebih sempurna jika disandingkan oleh seorang Rinni Anindita yang sudah bukan rahasia lagi ia menyimpan hati kepada Ardhan.
"Hei, apa kamu sudah menyapa orang-orang? Kalau belum ayo kita lakukan bersama."
Aku mendelik melihat Rinni terang-terangan mengajak Ardhan seolah itu hal paling wajar sedunia dan itu ia lakukan di depan mata pacar sang pria itu sendiri. Wanita ini benar-benar merasa percaya diri setelah sadar bahwa Ardhan jauh lebih pantas bersama dirinya malam ini dibanding pacarnya yang payah. "Maaf, bu Rinni, kami sudah menyapa orang-orang. Kami akan mengambil cemilan dulu sepertinya." Atas berbagai pertimbangan, Aku memutuskan menolak ajakannya—meski, kutahu kata bersama Rinni tidak ada diriku dalam ajakannya
"Ah, kebetulan. Malam ini, Papa mengundang chef yang berbeda dari biasanya dan Aku harus menunjukkan menu spesial yang harus kamu cicipi."
Wow. Wanita yang satu ini benar-benar pantang menyerah. "Oh, Ardhan, bagaimana bisa kita lupa bahwa kita belum menyapa pak Edi."
"Oh, kalau begitu, ayo, Ardhan, kita sapa Papaku bersama!"
Hal terakhir yang Aku ingin terjadi malam ini adalah mengalami adegan sinetron dan wanita 25 tahun ini berhasil membuatku merasakan itu. Ini menjijikkan sekali."Baiklah, silahkan, bu Rinni. Kalian berdua bisa menyapa pak Edi untuk mendapatkan komentar kenapa hanya kalian berdua dan dimana pasangan Ardhan. Maaf kalau terang-terangan tapi rasanya itu seperti how to self-acclaimed their boyfriend 101?" Sindiranku berhasil. Seketika, Rinni terdiam dengan wajah terkejut. Oh, maaf saja, Aku tidak peduli ia anak kepala cabang atau salah satu kepala divisi, satu hal yang kutahu ia berusaha merebut Ardhan sejelas matahari di siang hari. Bukan, ini bukan karena Aku menjadi wanita egois yang ingin menguasai Ardhan seorang diri ketika Aku memang ingin berpisah dengannya, hanya saja, wanita macam dia yang pura-pura tidak melihat bahwa targetnya sudah mempunyai pasangan lebih baik diberi pelajaran sejak awal sebelum tunas pelakor itu tumbuh dan berkembang lebih ganas.
Lagipula, sindiran setajam ini bisa menjadi salah satu poin tambahan bagiku untuk membuat Ardhan tidak kuat denganku, bukan? Aku berani bertaruh, begitu kami sudah sangat menjauh darinya, Ardhan akan menyikutku dan memperingatkanku untuk menjaga lidahku di acara besar seperti ini. Ardhan menceramahiku untuk segala perlakuanku di setiap kesempatan memang bukan hal baru bagiku, entahlah, mungkin setelah ini standar kesempurnaan miliknya membutakan dirinya hingga menyalahkan caraku mengedipkan mata.
Maka, itulah yang kutunggu kini. Menanti wajahnya berubah kesal lalu lidah setajam pedang baru diasah itu menyerangku habis-habisan. Namun, hingga kini, ia masih mengelap gaun biru mudaku yang telah kotor oleh noda merah menyala menggunakan sapu tangan yang telah ia basahi dalam diam.
"Hei, kamu tidak akan memarahiku karena memalukanmu di depan umum?" Akhirnya, pertanyaan itu meluncur dari lidahku. Mau bagaimana lagi, Aku benar-benar mengira ia mengajakku keluar dari aula pertemuan untuk menceramahiku karena memalukan dirinya di depan umum. Tentu saja, ia sebagai pasanganku akan merasa malu saat Rinni menarik perhatian orang-orang dengan menumpahkan minumannya ke gaunku lalu berakting bahwa aku yang salah dan ia tetap berbuat baik dengan mengelap gaunku. Apa lagi kalau bukan wanita itu balas dendam atas sindiranku itu?
Ardhan pun mengangkat wajahnya untuk sekian detik lalu menghela nafas lelah. "Hei, apa Dinan ini sudah menjadi masokis akut yang memintaku memarahinya? Berpacaran dengan seorang masokis akut jelas tidak sesuai standarku, tapi, kalau ternyata kamu memang sudah menjadi seperti itu, sepertinya Aku harus bisa menerimanya."
Aku terdiam beberapa saat, tidak percaya dengan apa yang baru keluar dari mulutnya, "apaan itu? Jangan melawak, Ardhan! Mana mungkin seorang perfeksionis sepertimu mau bersama masokis akut. Itu lelucon teraneh yang pernah kudengar."
"Well, yeah, seumur hidupku Aku memang tidak bisa membayangkannya. Tapi, ya sudahlah, selama itu bisa bersamamu, apa boleh buat?"
Tidak. Ardhan tidak berbohong sedikitpun. Aku mengenal Ardhan, Aku pegawainya yang paling bertahan lama, Aku kekasihnya yang nyaris menghabiskan setiap weekend bersama sebagai ganti kesibukan kami di weekday, dan Aku jelas tahu tidak ada nada bercanda, nada merayu sedikitpun dalam setiap jawabannya. Tidak ada sedikitpun.
Seharusnya, ia masih menjadi Yang Terhormat Ardhan Saputra, sang perfeksionis dengan standar kesempurnaan maha tinggi yang memaksaku menjadi pasangan kesempurnaan miliknya. Kekasihku yang hanya kupertahankan hingga malam ini.
"Ardhan, kalau Aku bukan masokis akut, bagaimana? Apa kamu masih—"
Ardhan akhirnya menghentikan kegiatannya, lalu mengangkat wajahnya setelah lama ia terjongkok di hadapanku untuk mengelap gaunku. "Benarkah? Yah, Aku curiga sih mana mungkin Dinan yang seperti ini bisa menjadi masokis akut. Untunglah. Kukira, Aku harus membaca manual how to dating your masochist girlfriend malam ini juga." Ujarnya dengan senyum tulus di wajahnya. "Sebentar, kalau begitu kenapa kita tiba-tiba membicarakan masokisme? Kamu tidak ingin—eh, Dinan, kamu menangis? Hei, ada apa?"
Aku tidak bisa menjawab apa-apa, hanya isak tangis yang sudah tidak bisa kukendalikan lagi. Ah, Aku merasa lemah menangis di hadapannya seperti ini. Selama 5 bulan ini, Aku tidak pernah menangis meski diperlakukan seperti apapun olehnya untuk menjadi boneka kesempurnaan miliknya. Tapi, mendengar jawabannya bahwa ia bahkan tetap akan menerimaku jika Aku menjadi masokis akut jelas membuatku tidak berdaya. "Ardhan, Aku ingin bertanya sesuatu." Rasanya, ada banyak hal yang harus kuluruskan. "kenapa kamu selalu memilihkan baju untukku? Bukankah itu karena kamu jijik dengan seleraku? Lalu, bagaimana dengan semua ceramahmu atas sikapku selama ini? Bagaimana dengan semua itu, Dhan?"
Suaranya yang selama ini lebih sering mematikan kami kini mengalun lembut menceritakan segala hal yang melatarbelakangi tindakannya; bagaimana mantannya dan Aku sendiri terlihat senang ketika dibelikan baju olehnya, bagaimana ia memang malam ini kaget melihat selera gaunku yang sebenarnya, bagaimana ia takut kalau sikapku yang sembarangan ditunjukkan ke atasan di acara-acara kantor akan membuat Aku hanya dikira menghambat kinerja Ardhan oleh para atasan sehingga akhirnya kami mungkin akan dipisahkan, dan bagaimana akhir-akhir ini ia takut kalau Aku sudah lelah padanya sebagaimana mantannya dulu.
"Seharusnya Aku marah melihatmu melontarkan kalimat sekasar itu kepada anak kepala cabang. Tapi, entah bagaimana, Aku tidak bisa menghentikanmu, Nan. Harusnya, Aku takut dengan jabatanku dan kontrak kerjamu dengan segala kekuasaan yang mereka pegang. Namun, anehnya, Aku hanya merasa senang saat melihat kamu masih mau mempertahankanku." Ujarnya di akhir kalimatnya. "Wow. Mendadak jujur seperti ini rasanya memalukan juga."
Mendengarnya mengucapkan itu semua membuatku tanpa sadar menanyakan hal yang selama ini Aku takut mendengar jawabannya, "Dhan,bagaimana bisa seorang perfeksionis sepertimu mengajakku pacaran, pegawaimu yang tingkahnya sembarangan ini?"
Ardhan membelalakkan matanya, lalu berdeham. Terlihat sekali ia ragu untuk menjawabnya dari wajahnya yang sedikit bersemu merah. "Should—Oh, oke, i cant bear to see your tears. Dinan, kamu satu-satunya pegawaiku yang bertahan paling lama denganku. Awalnya, Aku memang tidak tahan dengan sikapmu itu tapi saat bersamamu, Aku merasa agaknya menyenangkan lepas dari standarku yang terkadang, Aku tahu, mencekikku dan orang-orang disekitarku. Sejujurnya, esok paginya setelah malam itu, Aku merasa gila telah mengajak jadian pegawaiku sendiri." Ia menghentikan kalimatnya, kemudian menatapku dengan nanar matanya yang lembut. "Kamu ingat saat kita kencan kedua kalinya dimana seluruh rencanaku gagal karena hujan dan lupa reservasi tempat cadangan karena kesibukanku, kamu bisa mengendalikan situasi, mengajakku makan di kafe biasa? Saat itu, entah bagaimana meski inisiatifmu tidak sebanding dengan standarku—dan kamu meminta maaf padaku berulang kali untuk itu—semua yang kamu lakukan malam itu berhasil membebaskanku dari rasa sakit hati karena rencanaku yang gagal. Saat itu, Aku yakin, kamu bisa membebaskanku, Nan. Aku minta maaf karena selalu memarahimu, but you should know that you're the right person i've been looking for."
Orang-orang bilang cinta itu membebaskan. Lalu, bagaimana kalau kalian tidak merasakan kebebasan itu?
Mungkin kalian akan tercekik dan bertanya-tanya apakah pilihan kalian tersebut telah tepat. Tapi, tidak, jangan menyerah dulu. Cinta bukan hanya kalian yang mengalami. Jalinan itu terjadi antar dua insan yang memiliki hati yang berbicara dalam perbedaan. Aku mungkin akan selalu tercekik dengan segala standar Ardhan, namun jika Aku bisa menjadi definisi cinta bagi Ardhan, Aku bisa bertahan sehingga kami akan berbagi kebebasan ini.
Bersama kami akan melakukannya; Aku akan membebaskannya dari perfeksionisannya itu dan ia akan membebaskanku dari kesembarangan sikapku yang berbahaya bagi statusku di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar