1 April 2019

Kuliner Legenda Kota Semarang, Mie Kopyok

"Nduk, golek mie kopyok yoook." ini yang selalu masku bilang tiap pulang ke Semarang. Kuliner yang terlihat simpel ini memang favoritnya dan juga seluruh keluargaku. Aku masih ingat tiap hari di kampungku dulu selalu ada bapak-bapak penjual mie kopyok yang mienya tuh endeeuuss banget. Dan entah kenapa di lidah kita cuma mie kopyok bapaknya ini yang enak. Racikannya pas, air bawangnya kerasa tajam tapi tanpa "getar" (getar bahasa jawa yaaa, aku belum nemu kosa katanya di Bahasa Indonesia...hahaha)

Dan melihat kecintaan anak-anaknya pada mie kopyok, ibu ku pun belajar membuatnya sendiri. Tentu saja alasan klasik emak-emak, biar lebih hemat dan lebih puas makannya bisa berkali-kali...hehehe...beberapa kali percobaan memasak mie kopyok, ibu bilang masih merasa gagal, sementara kita sih apa aja yang ibu masak ya dimakan. Selalu bilang enak tiap ditanya gimana enak nggak, kurang apa. Nggak tega aja gitu bilang nggak seenak mienya bapak-bapak yang jual. Untungnya ibuku itu termasuk tipe orang yang objektif, beliau kalau masakannya pas ga enak ya bilang ga enak, maaf yaa kebanyakan garam, maaf yaaa kemanisan, maaf yaaa terlalu matang sayurnya...dan sebagainya.

Sampai suatu hari ketika aku baru saja pulang sekolah beliau bilang, "Nok, cobain mienya deh, kayaknya udah pas rasanya udah enak sama sepeti yang jualan itu." tentu saja nggak pakai lama aku langsung ambil piring begitu selesai cuci tangan dan kaki (ini hal wajib anak-anaknya ibu tiap pulang dari mana saja harus cuci tangan dan kaki, dan kuberlakukan juga buat anak-anakku...haha..)

Kupotong selonjor lontong, tahu goreng, lalu kujumput mie dan taoge yang sudah direbus, kutuang bumbu bawang yang ada di botol, lalu kusiram kuah panas. Tak lupa kuberi remukan kerupuk gendar dan sedikit kecap, potongan seledri dan bawang merah goreng. Oh, iya tentu saja cabe yang sudah direbus dan diuleg halus kutambahkan sedikit. Duuhhh, baunya udah bikin lapar.

Dan benar, endeeeeuuusss, melebihi yang biasa dijual kelilingan malah. *emot lope-lope* Ibuku berseri menerima pujian tulus anak-anaknya. Yaa, beliau selalu tahu mana yang cuma sekedar menyenangkan mana yang benar-benar pujian...hahaha...

Dari mie kopyok aku belajar, bahwa sesuatu yang terlihat simpel, justru biasanya membutuhkan akurasi takaran yang paaasss untuk mendapatkan rasa yang sempurna. 

Aku harusnya mewarisi semangat ibuku yang tak pernah pantang menyerah meracik masakan, sayangnya...aku nggak gitu....hehehe....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar