Aku tidak mengerti kenapa ayah ibuku bertengkar ketika
kami menonton televisi bersama. Aku bingung kenapa setiap kali ada tayangan
tentang bakal peserta pemilu mereka selalu berdebat tak henti-henti. Bahkan
hingga saling mendiamkan satu sama lain.
Ayahku memilih pasangan A sementara ibuku memilih si
B. Menurut ayah si A itu hebat karena mantan jenderal pasukan khusus, sedangkan
menurut ibuku si B hebat karena pekerja keras dan pengusaha. Kata ayahku,
Indonesia perlu dipimpin dari kalangan aparat supaya Indonesia tetap terjaga
persatuan dan kesatuannya serta disegani oleh negara lain.
Bagaimana dengan kata ibuku? Kalau menurut ibuku,
presiden itu harus dari kalangan pengusaha supaya indonesia menjadi negara yang
ekonominya maju.
Dan kemudian berdebat panjanglah mereka berdua tentang
bakal calon presidennya masing-masing. Yang tak jarang berakhir dengan ibuku
pergi ke dapur dan mulai terdengar suara brak bruk dari sana, kemudian disusul
suara ayah membanting pintu kamar. BRAAAAKKK!!! Kencang sekali. Serasa ribuan
jarum menusuk dada dan gendang telinga kami.
Aku dan kakakku hanya bisa saling pandang menjadi
penonton. Ya karena kami tidak paham soal politik dan pemerintahan. Buat kami
semua presiden ya baik, bagus. Kami sedih ayah dan ibu bertengkar karena
pilihan calon yang berbeda. Padahal ketika aku dan kakakku berbeda pilihan
mainan atau makanan kami disuruh untuk saling mengalah. Tetapi mereka? Hhhhhhh…
Yang lebih membuat kami bingung adalah ketika salah
satu dari mereka meminta pendapat kami soal siapa yang lebih bagus di antara
pilihan mereka berdua. Bagaimana kami bisa memberikan pendapat, orang kami mengerti
saja juga tidak.
Percaya tidak kalau kadang kami dipaksa untuk memilih
seperti ini, “sudah pilih saja salah satu yang mana. Si A atau si B, Dek yang
lebih bagus jadi presiden?”
Ketika aku memilih si A, Ayah buru-buru bilang ke ibu,
“tuh kan anak kecil saja tahu mana yang bagus, kamu kok malah tidak tahu tho
Buuuu Buuuu.”
Dan bermuka kecutlah ibu sambil melengos kesal ke
arahku yang memandangnya dengan takut-takut kalau-kalau besok tak ada jatah
masakannya untukku. Duh, padahal aku juga cuma asal sebut saja.
Atau ketika ibu membalas dengan berusaha mencari kawan
sekubu melalui pilihan kakak, ibu pun akan bertanya hal yang sama, “Kak, menurut
kakak, bagus mana presiden dari kalangan militer atau dari pengusaha?”
Kakakku yang sedang asyik bermain pun acuh menjawab,
“pengusahalah, Bu.” Dan ibu pun sudut bibirnya terangkat satu alias menjep alias mencibir ke ayah.
“Tuh, kakak saja milih pengusaha, Yah.” Cibir ibu
bangga. Ayah yang lebih kalem tak lantas melotot ke arah kakakku, melainkan
mengejarnya dengan pertanyaan selanjutnya, “kenapa kakak milih pengusaha?”
Masih dengan acuh kakakku menjawab, “ya pokoknya
pengusaha, Yah.”
Tak menunggu lama wajah ayahku pun langsung semuram
kaca mobil berdebu yang kena air hujan, bluwek.
Padahal bayangkan seorang anak SD kelas 6 dengan gawai di tangannya menjawab
soal pilihan presiden? Bisakah dipercaya kevalidan pilihannya? Aku yang anak
kecil saja lantang menjawab, tidak!
Hei, aku anak kecil, jadi aku paham benar apa yang ada
di pikiran bocah macam kami ketika berhadapan dengan permainan. Jelaslah fokus
kami cuma ada di layar gawai. Dengan kata lain, aku yakin seribu persen kalau
kakakku sama saja sepertiku yang asal memilih, asal menjawab sekenanya dengan
resiko salah satu pihak merasa senang sementara yang lainnya bermuka masam
hingga membanting pintu.
Melihat sikap ayah ibuku jelang pesta demokrasi di
negaraku ini bikin kesal sekaligus geli dan kuatir. Kesal karena sungguh sikap
ayah dan ibu tidak ada bedanya seperti kami anak-anak ketika berebutan mainan. Geli
karena sikap ayah dan ibu yang tak logis dengan memaksa kami menjadi bagian
dari salah satu kubu mereka, padahal sudah jelas kami tak paham benar dengan paslonnya,
nyata terpampang usia kami bukan usia pemilih.
Pesta demokrasi ini sekaligus juga membuatku kuatir
kalau sampai justru menjadi pesta berakhirnya pernikahan ayah ibuku karena
berbeda pilihan paslon. Tidak ada seorang pun anak di dunia ini yang bahagia
melihat ayah ibunya bercerai. Apalagi karena perbedaan pilihan bakal calon.
Kalau ini sampai terjadi mungkin aku dan juga kakakku akan menjadi golongan
putih selamanya karena rekam jejak yang buruk tentang pemilu di memori otak
kami.
“Kak, bagaimana kalau nanti gara-gara pemilu orang tua
kita sampai bercerai? Kamu mau ikut ayah atau ibu?” tanyaku sore itu ketika
kami sedang duduk melepas lelah di pinggiran lapangan seusai bermain bola.
“Mbuhlah, Dek. Aku tak ikut simbah saja. Males ikut
bapak ibu. Kamu ikut simbah sekalian sajalah.” Kata kakakku sambil mengelap
keringatnya. Sore ini kami beruntung karena berhasil menang mengalahkan tim bola
tetangga. Meskipun hanya pertandingan persahabatan tapi ketika berhasil menang
itu bahagianya luar biasa.
Tiba-tiba terdengar teriakan Pak Kisno dari kejauhan
yang memanggil nama kami berdua. Pak Kisno terlihat tergopoh-gopoh menghampiri
kami dengan nafas tersengal seperti baru saja selesai lari marathon. Tepat di
depan kami, Pak Kisno membungkuk memegang kedua lututnya. Tersengal mengatur
nafasnya yang berlompatan satu-satu dari dalam paru-parunya.
“Pakdhe, wonten
punapa?” tanya kakakku dalam Bahasa Jawa. Dia lebih jago daripada aku yang
Cuma bisa bilang nggih atau mboten. Pakdhe Kisno mengernyit lalu
berdiri tegak dengan satu tangan memegang dadanya yang tampak masih naik turun.
“Bapak kalian dibawa polisi.” Aku dan kakakku
berpandangan bingung. Bapak dibawa polisi? Tapi kenapa? Bukannya bapak tadi
pagi berpamitan berangkat ke kantor kok sekarang ditangkap polisi.
“Kenapa bapak dibawa polisi, Pakdhe?” tanyaku sambil
berpegangan tangan kakakku. Takut. Tiba-tiba terlintas bayangan buruk masa
depan kami karena bapak dipenjara.
“Pakdhe tidak tahu. Sudah kalian cepat pulang sana.
Ibu kalian pingsan tadi.” Bagai peluru lepas dari pelatuknya kami segera
melesat pulang ke rumah yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari lapangan.
Pendek tapi terasa lama karena rasa penasaran kami.
000
Suara kelereng kakakku bergemerincing di dalam gelas
plastik yang dia mainkan berulang kali. Dituang dimasukkan kembali, entah sudah
berapa kali dia melakukannya. Seandainya kelereng itu hanya satu yang mengenai
dinding gelas plastik mungkin tak akan seberisik sekarang. Tapi kelereng itu
terakhir aku hitung ada sekitar tiga puluh lima butir.
Tak heran suaranya membuatku ingin menelan
kelereng-kelereng itu biar suaranya lenyap tertelan dinding perutku. Tapi itu
tak mungkin kulakukan, karena ibuku pasti akan lebih sedih lagi bila berpisah
juga denganku yang masuk ke ruang perawatan rumah sakit untuk mengeluarkan
kelereng-kelereng yang bergelindingan di lambungku. Ibu sudah bersedih karena
berpisah dengan ayah, aku tak mau menambah lagi kesedihannya.
Kalau ingat keseharian ayah dan ibu beberapa hari
belakangan ini yang sering bertengkar karena paslon, aku rasanya tidak percaya
kalau melihat ibuku sedih berpisah dengan ayahku. Ibu bahkan sampai menangis
tersedu karena merindukan ayahku. Entah merindukan sosoknya atau merindukan
bertengkar dengannya, aku tak paham. Yang kupahami ibuku bersedih, aku juga.
Setelah beberapa hari belakangan aku merasa lelah dengan perdebatan mereka tentang
siapa calon presiden yang paling pantas memimpin negaraku, tapi hari ini aku
berharap kalau akan mendengar perdebatan ayah ibuku lagi daripada mendengar
isakan ibuku yang tertahan di balik dinding kamarnya. Isakan ibuku jauh lebih
terasa memerihkan telingaku dan meremukkan ulu hatiku.
Mungkin benar yang orang-orang bilang, kita akan
merindukan seseorang saat dia sudah tidak ada di kehidupan kita. Sama seperti
sekarang kami merindukan ayah. Meski untuk kasus ayahku, kami masih akan bisa
bertemu suatu saat nanti entah kapan yang kuharap tak akan memakan waktu lama.
“Kenapa Ayah ditahan polisi, Bu?” tanyaku dan kakak
berbarengan saat kami tiba dari lapangan di hari pertama ayah dijemput polisi.
Mendengar pertanyaanku, bukannya menjawab, tangis ibuku malah makin kencang
lalu ibu bergegas lari ke kamarnya.
Budhe Susi tetanggaku memeluk kami berdua dan
menggelengkan kepala saat kami akan menyusul ibu ke kamar. Sejak itu kami takut
bertanya ke ibu kenapa ayah dipenjara. Takut melihatnya menangis.
Kami hanya bisa mendengar simpang siur kalau ayah
dipenjara karena ibu yang berkampanye mendukung paslon tertentu. Hubungannya
sama ayah apa? Di situlah kami tak mengerti. Karena kalau ibu yang berkampanye
dan melakukan kesalahan ya mestinya ibu yang dipenjara kan.
Bukan berarti juga sih kalau kami akan senang melihat
ibu dijemput polisi. Kami hanya ingin keluarga kami utuh berkumpul bersama
seperti semula. Mau bertengkar soal pilihan presiden ya tidak apa-apa, selama
masih bisa melihat mereka berdua di rumah ini buatku itu jauh lebih baik.
Kuhidupkan televisi satu-satunya di rumah ini. Daripada
pusing mendengar suara kelereng kakakku, lebih baik aku menonton acara
anak-anak yang aku tidak yakin ada di sore hari. Karena biasanya di jam ini diisi
acara televisi yang orang-orangnya ribut mempertontonkan aib orang lain atau
kalau tidak ya ribut gojekan haha hihi tanpa jelas materi yang jadi bahan
tertawaan itu apa. Garing, kosong, kok ya tertawa. Kadang membuatku penasaran
apa sih yang lucu sebenarnya dari obrolan mereka? Menontonnya, senyum pun tak
ada di garis bibirku. Aku yang memiliki selera humor kelas receh atau justru
kelas lembaran? Entahlah.
Remote kupencet berulang kali untuk menemukan acara
yang sekiranya akan menarik perhatianku. Sudah dua puluh saluran televisi dan
belum tertarik satu pun. Entah ini mataku yang salah atau televisinya yang
memang sekarang tidak punya acara menarik untuk anak seumuranku.
“Pencet terus, Dek sampai jebol itu remotenya. Kamu
itu kebiasaan kalau nyetel tivi mesti muter terus remotenya.” Gerutuan kakakku
terdengar dari tempatnya bermain dengan kelereng. Sudut mataku hanya melirik
sekilas menanggapi protesnya. Huh, apa haknya bicara begitu setelah dia merusak
telingaku sekian menit lamanya dengan kegiatannya yang tak berfaedah.
“Ayaaahhh!!! Deeekkk, ayah deekkk ayaahhh!” teriaknya
tiba-tiba mengagetkanku. Untung bola mataku yang sedang melirik tak copot
karena kaget dan sigap melihat kembali ke arah televisi. Sekejap kakakku sudah
duduk anteng di sampingku setelah melompat dari atas kursi di dekat jendela.
Dan kami berdua menatap penuh rasa kangen ke foto ayah yang ditampilkan di
televisi. Sama-sama melongo mendengar penjelasan pembaca berita tentang kasus
ayahku.
“Ayah..” suaraku tercekat rindu ketika melihat video
ayahku yang diwawancarai oleh wartawan. Ayah terlihat kuyu dan sedih meski
berusaha tegar. Dia masih tetap ganteng meski terlihat sedikit kurus dan tak
terurus. Tak lama terdengar suara berderik pintu kamar, terlihat kepala ibu
menyembul keluar dari balik pintu berbarengan dengan hampir selesainya video
ayah yang diwawancarai oleh wartawan di televisi.
“Iya, kami berbeda pilihan, tapi bagaimanapun istri
saya ya istri saya sampai kapan pun. Dia orang yang saya cintai, ibu dari
anak-anak saya, jadi wajar kalau saya melakukannya.” Tegas ayahku dengan nada
meninggi. Saat itu juga ibuku menutup pintu sambil terisak lagi. Kali ini kami
mengerti arti isak tangisnya.
000
“Kenapa ibu tidak minta tolong ke Pakdhe Sukiman untuk
membebaskan ayah?” pertanyaan anak kecil tidak pernah lepas dari kata kenapa.
Itu pula pertanyaanku ke ibu yang sore ini akhirnya mau menemani kami bermain
di ruang keluarga yang merangkap ruang tamu di rumah ini, setelah seminggu
lamanya kami seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Untung ada Budhe Susi
yang menemani dan mengurus kami berdua. Percayalah, benar kalau ada yang
bilang, tetangga adalah saudara terdekat kita. Karena buktinya ketika ibu sibuk
mengurusi kasus ayah, Budhe Susi lah yang merawat kami berdua dan memastikan
kami tetap aman.
Ibu tak langsung menjawab pertanyaanku. Dia tampak
tekun menggulung benangnya dalam diam. Setelah kupikir dia tak akan menjawab
pertanyaanku, ternyata aku salah.
“Pakdhe Sukiman mau membantu asal ibu mau beralih pilihan
calon presiden.” Jawabnya lirih. Meski masih kecil aku memahami kelirihan
suaranya. Sama sepertiku yang ketika memilih mainan di toko tetapi ayah memaksa
memilihkan yang lain dengan alasan lebih murah, aku tak akan rela mengingkari
kata hatiku sendiri kalau aku lebih menyukai mainan pilihanku. Tetapi karena
ayah mengeluarkan jurus andalannya yaitu, “kalau tidak mau itu ya sudah.”
Sambil beranjak menuju pintu keluar toko, akhirnya dengan suara lirih aku akan
bilang, “ya udah deh yang ini, Yah.” Lalu mainan pilihan ayah pun masuk ke meja
kasir, dibungkus dan ku bawa pulang.
“Ibu mau?” tanya kakakku sambil menggigit roti isinya.
Menghela nafas berat, ibu memutar pola rajutannya yang
sudah setengah jadi. Ditatapnya rajutan yang entah pesanan siapa di tangannya
seolah sedang tenggelam dalam kaitan benang yang terjalin satu sama lain
memamerkan permainan warna hasil kelincahan jemari ibuku. Indah seperti biasa
tapi nyatanya keindahan itu tak mampu meringankan helaan nafas ibuku.
“Daripada ayahmu di penjara dan kalian malu karena
punya ayah seorang narapidana.” Jawabnya.
“Tapi, Bu kata pak guru memilih calon presiden dengan
benar dan sesuai hati nurani itu penting.” Kataku yang langsung mendapat
sikutan di perutku dari kakakku yang sedang melotot ketika akan kuprotes
kelakuannya yang main sikut. Dipikirnya tak sakit apa.
“Keutuhan keluarga lebih penting dari pilihan calon
presiden.” Jawab ibuku diplomatis dan menutup mulut kami berdua yang hendak
berbicara lagi.
“Lagipula secara tidak langsung ada andil ibu sehingga
ayahmu dipenjara. Jadi ibu harus bertanggung jawab.” Tambahnya lagi.
“Tapi kan ibu tidak melakukan apa-apa, ayah dipenjara
kan karena laporan Pakdhe Sukiman yang dipukul ayah. Lalu salah ibu di mana?”
tanya kakakku merepet seperti suara petasan dan aku manggut-manggut mengiyakan
pernyataannya. Karena biang kerok ayah dipenjara ya Pakdhe Sukiman yang membuat
laporan ke polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan lalu kenapa ibu
yang harus bertanggung jawab.
“Salah ibu adalah menjadi wanita yang kekeuh mendukung
calon presiden dan tak bisa mengontrol diri sehingga di setiap kesempatan
selalu berkampanye dan menjadi bahan olokan orang. Padahal wanita yang kekeuh
ini dicintai ayahmu. Sementara tidak ada lelaki yang tahan, Kak ketika wanita
yang dia cintai diolok-olok orang lain, meski yang mengolok memiliki pilihan
calon presiden yang sama dengannya. Ayahmu menganggap ibu lebih penting dari
kesamaan pilihan calon presidennya dengan Pakdhe Sukiman, karena itu ibu juga
harus melakukan hal yang sama untuk ayahmu. Ayahmu lebih penting dari calon
presiden pilihan ibu. Entah bagaimana ibu menjelaskan dengan Bahasa yang kamu
bisa mengerti, tapi kalau suatu saat nanti menemukan wanita yang kamu cintai
pasti akan paham rasanya jadi ayahmu. Lagipula pemilu di negara kita ini LUBER
alias langsung umum bebas rahasia, ibu masih bisa memilih calon presiden tanpa
bisa diketahui oleh orang lain, termasuk Pakdhe Sukiman. Ibu hanya harus
bermain lebih cantik saja dengan tak kampanye. Berat mengerem mulut ibu untuk
tidak membantah pendapat orang, tapi
lebih berat kehilangan ayah kalian.” Jelas ibu lalu diletakkannya hasil
rajutannya di keranjang tempat biasa tergeletak aneka benang dan rajutan yang
belum selesai di sisi kursi malasnya.
Ku tatap kagum ibuku yang tegar dan sangat cerdas di
mataku. Aku ingin kelak mendapatkan istri seperti ibuku. Dan ibu benar,
bahasanya tak semua mudah untuk kami pahami, tapi setidaknya kami mengerti
kalau ayah akan segera bebas dari penjara. Kompak kami peluk ibu dan tenggelam
dalam hangat pelukannya.
Note : cerpen ini kubuat dari awal memanasnya pilpres 2019, sebuah "teriakan" keprihatinan melihat tensi politik yang bahkan membuat suami istri dan keluarga berantakan hanya karena berbeda pilihan paslon... foto google.
11 April 2019
Paslon Pilihan Ibuku
Tags
ayah,
bagaimana cara,
bapak,
bawaslu,
cerpen,
cinta,
fiksi,
ibu,
indonesia,
jokowi,
keluarga,
keluarga harmonis,
kpu,
menjaga keluarga,
pengalaman,
pilpres,
prabowo,
relationship,
wanita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar