Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan

12 Februari 2025

Ternyata Aku Sudah Cukup Utuh

Hujan selalu turun setiap kali hati Sera hancur. Bukan karena dunia ikut bersedih, tapi karena setiap kenangan yang ia simpan seperti menciptakan badai di dalam dirinya sendiri. Sera, gadis yang selalu ceria, kini duduk termenung di kedai kopi kecil di sudut kota, jari-jarinya menggenggam secangkir cappuccino yang hampir dingin.

"Kenapa sih, aku selalu jatuh cinta sama orang yang salah?" gumamnya sambil menatap layar ponselnya yang kosong dari notifikasi.

Sera sudah patah hati lebih dari yang bisa ia hitung. Setiap kali ia percaya bahwa seseorang benar-benar mencintainya, kenyataan datang seperti angin ribut yang mencabut akarnya. Dari cinta pertama di SMA yang lebih memilih sahabatnya, hingga kekasih terakhir yang pergi tanpa sepatah kata pun.

Ia menarik napas dalam. Rasanya, jika ia menghitung semua air mata yang telah jatuh, mungkin bisa membentuk lautan kecil. Tapi anehnya, ia tetap percaya pada cinta. Meski berkali-kali hatinya hancur, Sera tetap membangun kembali dirinya dari serpihan yang tersisa.

Suatu hari, ia memutuskan untuk menulis setiap rasa sakitnya. Bukan untuk meratap, tapi untuk mengenang betapa kuatnya ia telah bertahan. Dalam jurnal kecilnya, ia mencatat:

Hari ke-102 setelah putus: Aku masih menangis, tapi sudah bisa tertawa lagi.

Hari ke-150: Aku sadar, aku lebih baik tanpanya.

Hari ke-200: Aku bertemu seseorang yang bisa membuatku tersenyum tanpa beban.

Seiring waktu, halaman-halaman itu menjadi bukti bahwa hatinya yang rapuh kini mulai pulih. Ia menyadari bahwa ia tidak pernah benar-benar kehilangan. Setiap luka mengajarkannya sesuatu, setiap patah hati menguatkannya.

Sampai akhirnya, di hari ke-365 setelah patah hati terakhirnya, ia menutup jurnal itu dengan sebuah kalimat terakhir:

"Aku tidak butuh seseorang untuk melengkapi aku. Aku sudah cukup utuh."

Gadis Berjaket Merah

Hujan turun rintik-rintik ketika Aira terakhir kali terlihat. Gadis berusia 16 tahun itu mengenakan jaket merahnya, berjalan sendirian menuju hutan di pinggiran desa. Semua orang tahu, hutan itu terlarang. Tapi Aira tidak percaya takhayul. Ia hanya ingin membuktikan bahwa cerita-cerita menyeramkan tentang hutan itu hanyalah omong kosong.

Pagi berikutnya, warga desa gempar. Aira tidak pulang semalaman. Orang tuanya melapor ke kepala desa, dan sekelompok warga pun dikumpulkan untuk mencarinya. Mereka memasuki hutan dengan senter dan alat seadanya, berteriak memanggil namanya. Namun, hanya gema suara mereka yang menjawab.

Di tengah pencarian, salah satu warga menemukan jaket merah Aira tersangkut di dahan pohon tua. Tidak jauh dari sana, ada jejak kaki yang aneh. Seperti milik Aira, tapi lebih dalam, seolah ada sesuatu yang menyeretnya.

Saat malam tiba, sebagian warga kembali ke desa, kecuali seorang pria tua bernama Pak Rahmat. Ia berkata bahwa ia pernah kehilangan adiknya di hutan yang sama, bertahun-tahun lalu. Dengan senter di tangan, ia berjalan lebih dalam. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu di balik semak-semak: Aira, duduk diam dengan mata kosong. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak ada suara yang keluar.

Ketika Pak Rahmat mendekat, Aira perlahan mengangkat tangannya, menunjuk ke sesuatu di belakangnya. Pak Rahmat menoleh—dan apa yang ia lihat membuat darahnya membeku. Sosok tinggi dengan tubuh kurus kering, matanya kosong dan hitam pekat, berdiri diam menatapnya. Makhluk itu tidak bergerak, tapi tiba-tiba suara-suara bisikan mulai memenuhi udara.

Pak Rahmat berlari sekuat tenaga, meninggalkan Aira. Sesampainya di desa, ia gemetar, menceritakan apa yang ia lihat. Sejak malam itu, tak ada lagi yang berani mencari Aira. Ia hilang begitu saja, seperti yang lain sebelum dirinya. Namun, sesekali, saat malam tiba, beberapa warga mengaku melihat sosok gadis berjaket merah berdiri di tepi hutan, menatap ke arah desa dengan senyum yang tidak seharusnya ada di wajah manusia.

29 Oktober 2023

Menebus Masa Lalu


“Halo?”
Lama tak juga menyahut penelpon di seberang sana, keheranan Gading menatap handphonenya, nomor asing.
“Halo?” lagi diulangnya untuk ketiga kali. Hanya terdengar riuh kendaraan bermotor.
“Selamat ya, operasimu berhasil.” Mengernyitkan kening Gading mencoba mengingat suara itu. Kesulitan karena tempat parkir ini begitu ramai.
“Siapa ya?” Suara terputus sambungan yang menjawabnya. Entah siapa penelpon itu, yang jelas Gading sedang bahagia. Karena operasi ginjalnya berhasil setelah sebelumnya sempat kehilangan harapan tak menemukan donor yang cocok.
-000-
“Kamu sempurna! Sementara aku tidak! Orang-orang selalu mengatakan kalau aku harus jadi seperti kamu! Gading yang cerdas, Gading yang penurut, Gading yang anak baik dan soleh. Kamu, selalu kamu yang jadi kebanggaan ayah bunda! Sementara aku??? Sampah yang tak berguna!!”
“Kamu bukan sampah! Kamu saudaraku!”
“Iyaaa, saudara yang selalu dianggap nggak lebih becus dari saudara kembarnya.”
“Nggak, Gana bukan seperti itu, kamu salah paham!”
“Aku salah paham??? Kamu nggak pernah tahu rasanya jadi aku. Nggak pernah tahu rasanya dianggap aneh, nakal, pembuat onar, anak bodoh. Sudah cukup! Kamu saja yang jadi anak ayah, aku tidak!”
Gading berusaha mengejar Gana yang berlalu cepat menuju motornya. Panik menyergapnya. Gading tak menyukai setiap Gana mengendarai motor dengan amarah. Sudah tiga kali terkapar di rumah sakit tak sedikit mematrikan jera di dirinya.
“Berhenti, Gana! Kita belum selesai bicara.” Deru motor Kawasaki meninggalkan Gading dalam keputusasaan. Kata orang, saudara kembar mampu berkomunikasi tanpa kata, tapi tidak dengan mereka berdua, jangankan tanpa kata, dengan kata saja begitu banyak kesalahpahaman. Termasuk kali ini saat Gading berusaha mendamaikan Gana dan ayah, sebelum nanti malam dia berangkat ke Jepang.
-000-
Gading memeluk bundanya erat. Setiap ulang tahun mereka berdua, sedih tak terelakkan dari raut muka bunda meski bibirnya berusaha melukis senyum. Seorang ibu sanggup menanggung lara melahirkan atau ditinggal suamimya berpaling ke wanita lain, tapi tak akan pernah sanggup menahan duka karena kehilangan anaknya.
Sejak motor Gana diketemukan hancur di dasar jurang, semuanya menjadi berubah. Gading telah kehilangan sosok bunda yang selalu ceria. Senyum di bibirnya tak mampu menghapus mendung di pancaran matanya, seperti hari ini di tahun ke lima Gading merayakan ulang tahunnya sendirian. Hanya sebuah kue ulang tahun bertuliskan namanya dan Gana sangat cantik dipanggang bundanya penuh dengan cinta.
“Gading, Gading, Nak jangan buat bunda kuatir, Nak. Banguuuunnn.” Semakin lama semakin sayup suara bunda yang mampu didengar Gading sebelum gelap merengkuhnya, lagi. Kali ini tepat setelah dia menyuapi ayah dan bunda kue ulang tahunnya.
-000-
“Penyakit ginjal Gading ini stadium akhir, tidak dapat diperbaiki, terapi konvensional seperti obat-obatan sudah tidak dapat diterapkan untuk kasus Gading, Bu.” Nefrologis, dokter ahli penyakit ginjal yang selama ini menangani Gading berusaha menjelaskan tentang kondisi Gading.
“Maksud dokter anak saya sudah tidak ada harapan hidup, Dok?”
Ayah Gading bertanya dengan nada tinggi. Jelas kecemasan tergurat di wajahnya yang tak lagi muda.
“Ginjal Gading sudah tidak dapat berfungsi seperti seharusnya, Pak. Dan hanya ada 2 cara yang memungkinkan pasien tetap hidup ketika ginjalnya berhenti berfungsi, yaitu dialisis atau cuci darah dan transplantasi ginjal.”
“Tapi, Dok darimana saya bisa mendapatkan donor ginjal untuk anak saya? Ginjal saya bisakah didonorkan?”
Gading mendengar suara bunda yang terisak ketika bertanya kepada dokter. Ingin dia berteriak melarang bundanya, tapi teriakannya seolah terhempas dinding kamar perawatan ini.
“Jangan, Bund. Jangan. Gading mohon jangan lakukan.” Kelelahan menjemput Gading dan membuatnya berteman kembali dengan gelap. Entah berapa lama, yang jelas tiba-tiba dia merasakan sentuhan di lengannya. Sayang matanya belum mau diajak berkompromi. Entah kenapa dia merasa begitu lemas tak berdaya.
“Maafkan aku.”
Suara itu. Gading berusaha membuka matanya lebih keras. Sekuat tenaga. Kesal dan kecewa manakala usahanya sia-sia ketika perlahan dirasakannya sentuhan di lengannya menghilang.
“Ganaaaaa!! Ganaaaaaa!!!!”
“Gading, sadar, Nak. Sssshhh…” Bunda menyentuh keningnya lembut. Mata Gading tak berhenti berkeliling ruangan mencari sosok kembarannya. Tapi tak ada. Hanya mereka berdua di kamar perawatannya. 
“Gana, Bund.” Sahutnya lirih.
“Kamu mimpiin Gana, Ding?”
Gading menggeleng bingung. Gading yakin itu bukan mimpi. Terlalu nyata sentuhan dan suara Gana.
“Bukan mimpi, Bund. Aku tadi dengar suara Gana di sini. Dia megang aku juga, Bund.”
Bundanya tampak tercenung, sedih.
“Mungkin kamu hanya kangen, Nak makanya mimpiin Gana.” Bunda tersenyum dan menyeka keringatnya lalu mengambil botol minum.
“Mau minum?” Gading mengangguk.
-000-
“Kumohon, Bunda.”
Bunda menatap anak lelakinya. Mana ada hati seorang ibu yang tak luluh mendengar permohonan anaknya. Apalagi dengan kondisi seperti sekarang. Anak lelaki yang disayanginya.
“Bunda tidak tahu akan berapa lama lagi bisa bertahan dalam kebohongan ini, Nak.”
“Sampai operasinya selesai, Bund. Aku janji Bunda tak perlu berbohong lagi demi aku. Yaaa?”
Bunda menghela nafas berat lalu mengangguk mengiyakan. Sama seperti lima tahun lalu. Bunda mengiyakan keinginan Gana di rumah sakit untuk menepi dari kehidupan keluarga mereka meskipun berat menjadi seorang pembohong di depan suaminya dan Gading. Tapi seorang ibu bisa melakukan apa saja demi anaknya kan?
-000-
Orang bilang penyesalan selalu datang di akhir. Tapi tak berlaku untuk Gana. Karena rasa penyesalan sedari awal sudah menyesakkan dadanya. Dan seperti tiada akhir manakala Bunda mengabari kondisi Gading. Pertengkaran terakhir mereka yang seolah tertancap tak mau hilang dari ingatannya, membuat penyesalannya semakin dalam. Seandainya saat itu dia tahu kalau Gading sakit.
Selama ini, kembaran yang dia jadikan tumpahan kekesalan rasa irinya ternyata menyimpan derita sakitnya sendiri. Tidak pernah mengeluh. Sementara Gana terlalu sibuk berkutat dengan rasa sakit hatinya karena selalu dibandingkan hingga tak mampu melihat keadaan Gading yang sesungguhnya.
Gana melihat dari kejauhan ketika Gading dan bunda masuk ke mobil ayah. Meski dia sudah berjanji tidak akan membuat bundanya berbohong lagi, tapi dia tahu dia belum bisa kembali. Setidaknya sampai dia berhasil membuka satu kantor cabang baru di kota ini untuk Gading. Untuk menebus masa lalu, sekali lagi.
Mengernyit menahan nyeri, Gana melarikan sedannya meninggalkan halaman parkir rumah sakit.



28 Juni 2019

Jangan Sisakan Makanan di Piringmu, Nak!




Aku termasuk ibu yg cerewet ke anak-anaknya kalau pas mereka makan nggak dihabiskan atau jatuh belepotan.

"Dek, kamu tuh kalau makan dideketin piringnya biar ga jatuh di lantai, sayang tau. Itu pak tani buat nanem padi sebiji aja panas2an. Liat pakde kemarin kan di sawah?"

"Kalau ambil dikira-kira abis kenapa sih, Kak? Bunda nggak suka deh makanan teng tenggelek di piring gt. Kalau makan tuh jangan disisain."

"Bunda tuh mending kalian makan nambah berulangkali daripada liat makanan sisa di piring. Ingat, banyak orang yg ga bisa makan di luar sana. Banyak orang yg bahkan ga tau besok bisa makan apa nggak. Ini kalian buang-buang makanan."

Cerewet...iya memang..hehehe...Aku paling "benci" kalau liat sisa makanan di piring. Selain karena "jijik" aja teng tenggelek, berantakan, juga karena aku selalu ingat, banyak orang yang tidak beruntung bisa makan setiap hari. Selalu ingat proses bagaimana makanan bisa sampai di piring kita. Pas nanemnya, ternaknya, masaknya, kan ga mudah. Dan Alhamdulillah anak-anak frekuensi nyisain makan itu kecil. Karena aku sering bawel tiap mereka mau ambil makan,

"Ambil porsi dikit dulu, kalau enak, habis, nambah lagi."  😁😁😁

Dan foto ini kutunjukkin ke anak2, "Ini kenapa bunda selalu cerewet kalau kalian nyisain makanan."

"Lha kan malah bagus, Nda itu karena sisa jadi dia bisa makan."

"😑 Lebih bagus kalau kamu jajanin daripada kamu sisain makan. Kamu deh, mau makan sisa orang?"

"Nggak."

"Nah, bersyukur makanya. Salah satu caranya, kalau ambil makanan kira2, abisin makanan yg kamu ambil. Gitu loh."

Semoga rejekimu lancar ya, Dek yang ada di foto. Terima kasih untuk yang sudah fotoin adek ini, bisa jadi contoh nyata untuk anak-anak saya biar mereka belajar untuk semakin bersyukur karena sudah dikasih Allah hidup yang enak dan berkecukupan. 🙏🙏🙏

11 April 2019

Paslon Pilihan Ibuku


Aku tidak mengerti kenapa ayah ibuku bertengkar ketika kami menonton televisi bersama. Aku bingung kenapa setiap kali ada tayangan tentang bakal peserta pemilu mereka selalu berdebat tak henti-henti. Bahkan hingga saling mendiamkan satu sama lain.
Ayahku memilih pasangan A sementara ibuku memilih si B. Menurut ayah si A itu hebat karena mantan jenderal pasukan khusus, sedangkan menurut ibuku si B hebat karena pekerja keras dan pengusaha. Kata ayahku, Indonesia perlu dipimpin dari kalangan aparat supaya Indonesia tetap terjaga persatuan dan kesatuannya serta disegani oleh negara lain.
Bagaimana dengan kata ibuku? Kalau menurut ibuku, presiden itu harus dari kalangan pengusaha supaya indonesia menjadi negara yang ekonominya maju.
Dan kemudian berdebat panjanglah mereka berdua tentang bakal calon presidennya masing-masing. Yang tak jarang berakhir dengan ibuku pergi ke dapur dan mulai terdengar suara brak bruk dari sana, kemudian disusul suara ayah membanting pintu kamar. BRAAAAKKK!!! Kencang sekali. Serasa ribuan jarum menusuk dada dan gendang telinga kami.
Aku dan kakakku hanya bisa saling pandang menjadi penonton. Ya karena kami tidak paham soal politik dan pemerintahan. Buat kami semua presiden ya baik, bagus. Kami sedih ayah dan ibu bertengkar karena pilihan calon yang berbeda. Padahal ketika aku dan kakakku berbeda pilihan mainan atau makanan kami disuruh untuk saling mengalah. Tetapi mereka? Hhhhhhh…
Yang lebih membuat kami bingung adalah ketika salah satu dari mereka meminta pendapat kami soal siapa yang lebih bagus di antara pilihan mereka berdua. Bagaimana kami bisa memberikan pendapat, orang kami mengerti saja juga tidak.
Percaya tidak kalau kadang kami dipaksa untuk memilih seperti ini, “sudah pilih saja salah satu yang mana. Si A atau si B, Dek yang lebih bagus jadi presiden?”
Ketika aku memilih si A, Ayah buru-buru bilang ke ibu, “tuh kan anak kecil saja tahu mana yang bagus, kamu kok malah tidak tahu tho Buuuu Buuuu.”
Dan bermuka kecutlah ibu sambil melengos kesal ke arahku yang memandangnya dengan takut-takut kalau-kalau besok tak ada jatah masakannya untukku. Duh, padahal aku juga cuma asal sebut saja.
Atau ketika ibu membalas dengan berusaha mencari kawan sekubu melalui pilihan kakak, ibu pun akan bertanya hal yang sama, “Kak, menurut kakak, bagus mana presiden dari kalangan militer atau dari pengusaha?”
Kakakku yang sedang asyik bermain pun acuh menjawab, “pengusahalah, Bu.” Dan ibu pun sudut bibirnya terangkat satu alias menjep alias mencibir ke ayah.
“Tuh, kakak saja milih pengusaha, Yah.” Cibir ibu bangga. Ayah yang lebih kalem tak lantas melotot ke arah kakakku, melainkan mengejarnya dengan pertanyaan selanjutnya, “kenapa kakak milih pengusaha?”
Masih dengan acuh kakakku menjawab, “ya pokoknya pengusaha, Yah.”
Tak menunggu lama wajah ayahku pun langsung semuram kaca mobil berdebu yang kena air hujan, bluwek. Padahal bayangkan seorang anak SD kelas 6 dengan gawai di tangannya menjawab soal pilihan presiden? Bisakah dipercaya kevalidan pilihannya? Aku yang anak kecil saja lantang menjawab, tidak!
Hei, aku anak kecil, jadi aku paham benar apa yang ada di pikiran bocah macam kami ketika berhadapan dengan permainan. Jelaslah fokus kami cuma ada di layar gawai. Dengan kata lain, aku yakin seribu persen kalau kakakku sama saja sepertiku yang asal memilih, asal menjawab sekenanya dengan resiko salah satu pihak merasa senang sementara yang lainnya bermuka masam hingga membanting pintu.
Melihat sikap ayah ibuku jelang pesta demokrasi di negaraku ini bikin kesal sekaligus geli dan kuatir. Kesal karena sungguh sikap ayah dan ibu tidak ada bedanya seperti kami anak-anak ketika berebutan mainan. Geli karena sikap ayah dan ibu yang tak logis dengan memaksa kami menjadi bagian dari salah satu kubu mereka, padahal sudah jelas kami tak paham benar dengan paslonnya, nyata terpampang usia kami bukan usia pemilih.
Pesta demokrasi ini sekaligus juga membuatku kuatir kalau sampai justru menjadi pesta berakhirnya pernikahan ayah ibuku karena berbeda pilihan paslon. Tidak ada seorang pun anak di dunia ini yang bahagia melihat ayah ibunya bercerai. Apalagi karena perbedaan pilihan bakal calon. Kalau ini sampai terjadi mungkin aku dan juga kakakku akan menjadi golongan putih selamanya karena rekam jejak yang buruk tentang pemilu di memori otak kami.
“Kak, bagaimana kalau nanti gara-gara pemilu orang tua kita sampai bercerai? Kamu mau ikut ayah atau ibu?” tanyaku sore itu ketika kami sedang duduk melepas lelah di pinggiran lapangan seusai bermain bola.
“Mbuhlah, Dek. Aku tak ikut simbah saja. Males ikut bapak ibu. Kamu ikut simbah sekalian sajalah.” Kata kakakku sambil mengelap keringatnya. Sore ini kami beruntung karena berhasil menang mengalahkan tim bola tetangga. Meskipun hanya pertandingan persahabatan tapi ketika berhasil menang itu bahagianya luar biasa.
Tiba-tiba terdengar teriakan Pak Kisno dari kejauhan yang memanggil nama kami berdua. Pak Kisno terlihat tergopoh-gopoh menghampiri kami dengan nafas tersengal seperti baru saja selesai lari marathon. Tepat di depan kami, Pak Kisno membungkuk memegang kedua lututnya. Tersengal mengatur nafasnya yang berlompatan satu-satu dari dalam paru-parunya.
“Pakdhe, wonten punapa?” tanya kakakku dalam Bahasa Jawa. Dia lebih jago daripada aku yang Cuma bisa bilang nggih atau mboten. Pakdhe Kisno mengernyit lalu berdiri tegak dengan satu tangan memegang dadanya yang tampak masih naik turun.
“Bapak kalian dibawa polisi.” Aku dan kakakku berpandangan bingung. Bapak dibawa polisi? Tapi kenapa? Bukannya bapak tadi pagi berpamitan berangkat ke kantor kok sekarang ditangkap polisi.
“Kenapa bapak dibawa polisi, Pakdhe?” tanyaku sambil berpegangan tangan kakakku. Takut. Tiba-tiba terlintas bayangan buruk masa depan kami karena bapak dipenjara.
“Pakdhe tidak tahu. Sudah kalian cepat pulang sana. Ibu kalian pingsan tadi.” Bagai peluru lepas dari pelatuknya kami segera melesat pulang ke rumah yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari lapangan. Pendek tapi terasa lama karena rasa penasaran kami.
000
Suara kelereng kakakku bergemerincing di dalam gelas plastik yang dia mainkan berulang kali. Dituang dimasukkan kembali, entah sudah berapa kali dia melakukannya. Seandainya kelereng itu hanya satu yang mengenai dinding gelas plastik mungkin tak akan seberisik sekarang. Tapi kelereng itu terakhir aku hitung ada sekitar tiga puluh lima butir.
Tak heran suaranya membuatku ingin menelan kelereng-kelereng itu biar suaranya lenyap tertelan dinding perutku. Tapi itu tak mungkin kulakukan, karena ibuku pasti akan lebih sedih lagi bila berpisah juga denganku yang masuk ke ruang perawatan rumah sakit untuk mengeluarkan kelereng-kelereng yang bergelindingan di lambungku. Ibu sudah bersedih karena berpisah dengan ayah, aku tak mau menambah lagi kesedihannya.
Kalau ingat keseharian ayah dan ibu beberapa hari belakangan ini yang sering bertengkar karena paslon, aku rasanya tidak percaya kalau melihat ibuku sedih berpisah dengan ayahku. Ibu bahkan sampai menangis tersedu karena merindukan ayahku. Entah merindukan sosoknya atau merindukan bertengkar dengannya, aku tak paham. Yang kupahami ibuku bersedih, aku juga. Setelah beberapa hari belakangan aku merasa lelah dengan perdebatan mereka tentang siapa calon presiden yang paling pantas memimpin negaraku, tapi hari ini aku berharap kalau akan mendengar perdebatan ayah ibuku lagi daripada mendengar isakan ibuku yang tertahan di balik dinding kamarnya. Isakan ibuku jauh lebih terasa memerihkan telingaku dan meremukkan ulu hatiku.
Mungkin benar yang orang-orang bilang, kita akan merindukan seseorang saat dia sudah tidak ada di kehidupan kita. Sama seperti sekarang kami merindukan ayah. Meski untuk kasus ayahku, kami masih akan bisa bertemu suatu saat nanti entah kapan yang kuharap tak akan memakan waktu lama.
“Kenapa Ayah ditahan polisi, Bu?” tanyaku dan kakak berbarengan saat kami tiba dari lapangan di hari pertama ayah dijemput polisi. Mendengar pertanyaanku, bukannya menjawab, tangis ibuku malah makin kencang lalu ibu bergegas lari ke kamarnya.
Budhe Susi tetanggaku memeluk kami berdua dan menggelengkan kepala saat kami akan menyusul ibu ke kamar. Sejak itu kami takut bertanya ke ibu kenapa ayah dipenjara. Takut melihatnya menangis.
Kami hanya bisa mendengar simpang siur kalau ayah dipenjara karena ibu yang berkampanye mendukung paslon tertentu. Hubungannya sama ayah apa? Di situlah kami tak mengerti. Karena kalau ibu yang berkampanye dan melakukan kesalahan ya mestinya ibu yang dipenjara kan.
Bukan berarti juga sih kalau kami akan senang melihat ibu dijemput polisi. Kami hanya ingin keluarga kami utuh berkumpul bersama seperti semula. Mau bertengkar soal pilihan presiden ya tidak apa-apa, selama masih bisa melihat mereka berdua di rumah ini buatku itu jauh lebih baik.
Kuhidupkan televisi satu-satunya di rumah ini. Daripada pusing mendengar suara kelereng kakakku, lebih baik aku menonton acara anak-anak yang aku tidak yakin ada di sore hari. Karena biasanya di jam ini diisi acara televisi yang orang-orangnya ribut mempertontonkan aib orang lain atau kalau tidak ya ribut gojekan haha hihi tanpa jelas materi yang jadi bahan tertawaan itu apa. Garing, kosong, kok ya tertawa. Kadang membuatku penasaran apa sih yang lucu sebenarnya dari obrolan mereka? Menontonnya, senyum pun tak ada di garis bibirku. Aku yang memiliki selera humor kelas receh atau justru kelas lembaran? Entahlah.
Remote kupencet berulang kali untuk menemukan acara yang sekiranya akan menarik perhatianku. Sudah dua puluh saluran televisi dan belum tertarik satu pun. Entah ini mataku yang salah atau televisinya yang memang sekarang tidak punya acara menarik untuk anak seumuranku.
“Pencet terus, Dek sampai jebol itu remotenya. Kamu itu kebiasaan kalau nyetel tivi mesti muter terus remotenya.” Gerutuan kakakku terdengar dari tempatnya bermain dengan kelereng. Sudut mataku hanya melirik sekilas menanggapi protesnya. Huh, apa haknya bicara begitu setelah dia merusak telingaku sekian menit lamanya dengan kegiatannya yang tak berfaedah.
“Ayaaahhh!!! Deeekkk, ayah deekkk ayaahhh!” teriaknya tiba-tiba mengagetkanku. Untung bola mataku yang sedang melirik tak copot karena kaget dan sigap melihat kembali ke arah televisi. Sekejap kakakku sudah duduk anteng di sampingku setelah melompat dari atas kursi di dekat jendela. Dan kami berdua menatap penuh rasa kangen ke foto ayah yang ditampilkan di televisi. Sama-sama melongo mendengar penjelasan pembaca berita tentang kasus ayahku.
“Ayah..” suaraku tercekat rindu ketika melihat video ayahku yang diwawancarai oleh wartawan. Ayah terlihat kuyu dan sedih meski berusaha tegar. Dia masih tetap ganteng meski terlihat sedikit kurus dan tak terurus. Tak lama terdengar suara berderik pintu kamar, terlihat kepala ibu menyembul keluar dari balik pintu berbarengan dengan hampir selesainya video ayah yang diwawancarai oleh wartawan di televisi.
“Iya, kami berbeda pilihan, tapi bagaimanapun istri saya ya istri saya sampai kapan pun. Dia orang yang saya cintai, ibu dari anak-anak saya, jadi wajar kalau saya melakukannya.” Tegas ayahku dengan nada meninggi. Saat itu juga ibuku menutup pintu sambil terisak lagi. Kali ini kami mengerti arti isak tangisnya.
000
“Kenapa ibu tidak minta tolong ke Pakdhe Sukiman untuk membebaskan ayah?” pertanyaan anak kecil tidak pernah lepas dari kata kenapa. Itu pula pertanyaanku ke ibu yang sore ini akhirnya mau menemani kami bermain di ruang keluarga yang merangkap ruang tamu di rumah ini, setelah seminggu lamanya kami seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Untung ada Budhe Susi yang menemani dan mengurus kami berdua. Percayalah, benar kalau ada yang bilang, tetangga adalah saudara terdekat kita. Karena buktinya ketika ibu sibuk mengurusi kasus ayah, Budhe Susi lah yang merawat kami berdua dan memastikan kami tetap aman.
Ibu tak langsung menjawab pertanyaanku. Dia tampak tekun menggulung benangnya dalam diam. Setelah kupikir dia tak akan menjawab pertanyaanku, ternyata aku salah.
“Pakdhe Sukiman mau membantu asal ibu mau beralih pilihan calon presiden.” Jawabnya lirih. Meski masih kecil aku memahami kelirihan suaranya. Sama sepertiku yang ketika memilih mainan di toko tetapi ayah memaksa memilihkan yang lain dengan alasan lebih murah, aku tak akan rela mengingkari kata hatiku sendiri kalau aku lebih menyukai mainan pilihanku. Tetapi karena ayah mengeluarkan jurus andalannya yaitu, “kalau tidak mau itu ya sudah.” Sambil beranjak menuju pintu keluar toko, akhirnya dengan suara lirih aku akan bilang, “ya udah deh yang ini, Yah.” Lalu mainan pilihan ayah pun masuk ke meja kasir, dibungkus dan ku bawa pulang.
“Ibu mau?” tanya kakakku sambil menggigit roti isinya.
Menghela nafas berat, ibu memutar pola rajutannya yang sudah setengah jadi. Ditatapnya rajutan yang entah pesanan siapa di tangannya seolah sedang tenggelam dalam kaitan benang yang terjalin satu sama lain memamerkan permainan warna hasil kelincahan jemari ibuku. Indah seperti biasa tapi nyatanya keindahan itu tak mampu meringankan helaan nafas ibuku.
“Daripada ayahmu di penjara dan kalian malu karena punya ayah seorang narapidana.” Jawabnya.
“Tapi, Bu kata pak guru memilih calon presiden dengan benar dan sesuai hati nurani itu penting.” Kataku yang langsung mendapat sikutan di perutku dari kakakku yang sedang melotot ketika akan kuprotes kelakuannya yang main sikut. Dipikirnya tak sakit apa.
“Keutuhan keluarga lebih penting dari pilihan calon presiden.” Jawab ibuku diplomatis dan menutup mulut kami berdua yang hendak berbicara lagi.
“Lagipula secara tidak langsung ada andil ibu sehingga ayahmu dipenjara. Jadi ibu harus bertanggung jawab.” Tambahnya lagi.
“Tapi kan ibu tidak melakukan apa-apa, ayah dipenjara kan karena laporan Pakdhe Sukiman yang dipukul ayah. Lalu salah ibu di mana?” tanya kakakku merepet seperti suara petasan dan aku manggut-manggut mengiyakan pernyataannya. Karena biang kerok ayah dipenjara ya Pakdhe Sukiman yang membuat laporan ke polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan lalu kenapa ibu yang harus bertanggung jawab.
“Salah ibu adalah menjadi wanita yang kekeuh mendukung calon presiden dan tak bisa mengontrol diri sehingga di setiap kesempatan selalu berkampanye dan menjadi bahan olokan orang. Padahal wanita yang kekeuh ini dicintai ayahmu. Sementara tidak ada lelaki yang tahan, Kak ketika wanita yang dia cintai diolok-olok orang lain, meski yang mengolok memiliki pilihan calon presiden yang sama dengannya. Ayahmu menganggap ibu lebih penting dari kesamaan pilihan calon presidennya dengan Pakdhe Sukiman, karena itu ibu juga harus melakukan hal yang sama untuk ayahmu. Ayahmu lebih penting dari calon presiden pilihan ibu. Entah bagaimana ibu menjelaskan dengan Bahasa yang kamu bisa mengerti, tapi kalau suatu saat nanti menemukan wanita yang kamu cintai pasti akan paham rasanya jadi ayahmu. Lagipula pemilu di negara kita ini LUBER alias langsung umum bebas rahasia, ibu masih bisa memilih calon presiden tanpa bisa diketahui oleh orang lain, termasuk Pakdhe Sukiman. Ibu hanya harus bermain lebih cantik saja dengan tak kampanye. Berat mengerem mulut ibu untuk tidak membantah pendapat orang,  tapi lebih berat kehilangan ayah kalian.” Jelas ibu lalu diletakkannya hasil rajutannya di keranjang tempat biasa tergeletak aneka benang dan rajutan yang belum selesai di sisi kursi malasnya.
Ku tatap kagum ibuku yang tegar dan sangat cerdas di mataku. Aku ingin kelak mendapatkan istri seperti ibuku. Dan ibu benar, bahasanya tak semua mudah untuk kami pahami, tapi setidaknya kami mengerti kalau ayah akan segera bebas dari penjara. Kompak kami peluk ibu dan tenggelam dalam hangat pelukannya. 

Note : cerpen ini kubuat dari awal memanasnya pilpres 2019, sebuah "teriakan" keprihatinan melihat tensi politik yang bahkan membuat suami istri dan keluarga berantakan hanya karena berbeda pilihan paslon... foto google.


3 Juli 2018

Parents ia Everything

Alfi Nur S

Bunyi rintik hujan di genteng bersahutan dengan bunyi Guntur yang menyambar-nyambar. Daun-daun menari bergesekan tertiup angin. Rerumputan meringkuk dalam basah. Air berlarian masuk selokan bersama daun-daun kering, ranting-ranting patah dan sampah. Dua sepasang insan duduk membisu di sebuah caffe favorit keduanya.  Gadis berparas ayu lengkap dengan alis tebalnya tampak sibuk menghabiskan makanan yang baru saja ia pesan. Sementara laki-laki disampingnya sedari tadi enggan mengalihkan pandangan ke arah kekasihnya sembari memikirkan pertanyaan yang dikira pantas sebagai pembuka atas kebisuan yang kekasihnya suguhkan.

"Mari.." Belum sempat ia meneruskan panggilannya gadis itu begitu gesit menjawab.

"Aku udah selesai. Pulang yuk!" meraih tisu lalu beranjak dari tempat duduknya. laki-laki berambut gondrong itu tercengang menatap punggung kekasihnya yang berjilbab rapi senada dengan warna baju yang ia kenakan enyah meninggalkan dirinya. Namun karena tak ingin larut dalam kebingungannya, ia segera menghampiri kasir menyodorkan uang dan berlari menuruti jejak gadis yang akrab disapa Mariya.

Di sebuah parkiran laki-laki dengan setelan jaket dan celana jins ala rocker mencoba merebut helm dari tangan Mariya dengan tatapan ambigu.

"Biarkan hujan sedikit mereda Mariya.." tegurnya lembut

Lalu apa gunanya jas hujan di jok sepeda mu?" jawab Mariya dengan melemparkan pertanyaan yang tiada jawaban dari Yuda selain hanya menuruti perkataannya.

 Selama menyetir Yuda masih membawa pikirannya memikirkan kebisuan orang dibelakangnya. Sampai pada akhirnya ia memutuskan membawa motornya melaju pesat melewati arah ke kosan Mariya.

"Yud berhenti!." Protes Mariya beberapa kali sembari mengelap wajahnya dari tetesan hujan. Namun Yuda sama sekali tak menghiraukan perkataan Mariya. Ia lebih memilih fokus menerjang derasnya hujan hingga berhenti disalah satu halte bis yang jaraknya 6 km dari kosan Mariya.

"Seharusnya kamu dong yang berhenti duluan!" Balas Yuda.

"Jadi cowok peka dikitlah" Tukas Mariya tak tertahan

Sekejap mereka bersitatap. Tak peduli hujan sore jelang petang itu, sesegera mungkin dia melepas helm lengkap dengan jas hujan di kenakan. Sementara Yuda sibuk memperhatikan wajah sendu Mariya. Lagi-lagi tangannya ingin menyentuh untuk menahan. Namun melepaskannya itulah yang menjadi kenyataannya. Yuda paham apa yang akan dilakukan kekasihnya. Hanya berjarak 5 detik, firasat Yuda terwujud. Kekasihnya melambaikan tangan teruntuk sebuah kendaraan roda empat yang hend ak melaju menghampirinya.

"Apa karena aku pakai baju rocker acak adul dan kamu dengan setelan gamis itu menjadi penyebab kesenduanmu?" Kemarahan Mariya sudah tak bisa dibendung. Meski sekencang apapun Yuda melontarkan pertanyaannya itu akan menjadi sia-sia. Mariya tak akan mengurungkan niatnya membiarkan kendaraan umum melintas melewatinya demi membalas pertanyaan Yuda.     

Enam bulan sudah semenjak berakhirnya ia dengan Yuda. Kini ia mulai tersandung asmara untuk kesekian kalinya berkat salah satu kerabat yang mengenalkannya. Darma namanya. Mahasiswa jurusan sastra di salah satu Universitas terkenal di Yogyakarta. Sejatinya Mariya adalah  typical gadis pencinta puisi yang tidak mudah jatuh hati. Banyak laki-laki yang mendekati dirinya. Namun dia tidak bisa jua mendekat ketika bukan dia yang mulai sendiri aroma wanginya cinta. Selain memang selaranya, Mariya kembali dipertemukan dengan lelaki dari kalangan penikmat seni dan berambut gondrong. Namun tak kalah manis dari sebelumnya. Malam ini mereka bertemu. Demi gelora kerinduan dan atas nama hubungan mereka. Persis di salah satu tempat dan meja kali pertama mereka menjabat tangan dan melempar senyum.

Mariya yang duduk dihadapannya reflex menolehkan wajah kesembarang arah. Wajahnya ketahuan memerah. Demi segalanya, mendadak gadis ayu bermata tajam dan beralis tebal tertata itu sungguh salah tingkah.  

"Aku punya sesuatu buat kamu." Pelan-pelan Darma merogoh cincin dari saku celananya. Darma bercerita jika Cincin bertuliskan nama di dirinya itu ia peroleh ketika masih mengenyam bangku SMP.

"Kenapa dikasih ke aku? Udah nggak suka ya.  " Membolak-balikkan benda kecil itu.

"Justru berharga malah. Tapi cincin itu akan jauh lebih cantik jika dipakai di jari manismu sayang" Darma tersenyum menatap berbinar-binar. Gadis itu terlihat cantik. Mengenakan jilbab pashmina warna merah muda.

Bagai sebatang besi merah-membara yang dicelupkan kedalam air dingin, hati Mariya mendesis. Lagi-lagi pipinya berubah menjadi pink kemerah-merahan. Ia menggigit bibir. Degupnya mengencang. Sialan. Senyumnya tau saja cara berselip diantara satu degup ke degup lainnya. Pikirnya. Karena tidak kuasa bersitatap dengan wajah manisnya Tak segan-segan Mariya bertingkah manja dengan menyuruh Darma untuk memakaikan cincin di jari paling manis miliknya.

Rupanya mereka tergelayut oleh ke elokan cahaya rembulan malam itu. Meskipun sebenarnya tanpa dibuat-buat mereka sama-sama terjangkit flu, obrolan tetap berlanjut Hingga perjumpaan mereka berakhir persis di arah jarum kecil jam 01.00. Ketika si pemilik caffe menyuruh dengan bijaksana untuk kembali lagi besok pada jam yang telah ditentukan.

Kejadian itu benar-benar membuat Mariya nyengir sendiri. Menggigit ujung-ujung bantal. bertingkah aneh. Seolah langit-langit kamar sempurna dipenuhi oleh gurat mukanya.

Larut malam ia baru tertidur (sambil tersenyum).

Dan saat terbangun esok, yang pertama kali dipikirkannya apalagi kalau bukan si pujaan hatinya. Senyumnya tambah mengembang  ketika mendapati telepon dari si Dia.

"Sayang, aku nggak jadi pulang hari ini" Suaranya terdengar lemah. Darma sakit. Entah itu kabar bahagia atau sedih. Namun yang membuat Mariya terheran adalah mengapa demam yang dialami Darma sama dengan dirinya kini. Ah, ini hanyalah sebuah kebetulan pikirnya. Lalu kembali menyimak cerita Darma yang kemudian kabur entah kemana.

Dua hari berlalu, mariya memakai jaket untuk ke dua kalinya. Memeluk erat boneka dan meraih selimut tebalnya. Tubuhnya menggigil. Tiba-tiba ponselnya berdering tanda satu pesan masuk. Mariya berusaha membukanya dengan memicingkan mata tajamnya.

"Aku nanti pulang, kamu nggak punya cita-cita untuk nganterin aku?" Ucap Darma melalui pesan singkat.

Dengan berat hati Mariya membalas dengan singkat kata iya. Tak sengaja ponselnya tergelincir dari tangannya. Ia kembali menarik selimut dan hanyut dalam demamnya.

Malam beranjak datang. Sabit menghias angkasa. Awan seperti sabut kelapa berserakan memenuhi langit. Membuat suasana terlihat senyap. Dengan sekuat tenaga Mariya beranjak dari tidurnya. Memaksa mengayunkan langkahnya ke kamar mandi. Setelah itu ia sibuk memilih jilbab yang pantas dengan baju biru langitnya.

Dalam perjalanan ke caffe si Doi, Mariya berbenak. Semoga  bisnya datang terlambat. Dengan harapan seperti itu sehendaknya ia punya imbalan untuk memiliki  waktu berbicara dengan kekasih hatinya. Namun kenyataannya berbalik, benak Mariya tak direstui. Langit mendadak semakin gelap. Awan tebal berarak-arak menutupi gemintang. Bis bertulisan Yogyakarta siap menanti kehadiran Darma.

"Bisnya udah dateng, aku masuk ya, kamu hati-hati pulangnya" Berjabat tangan. Kamudian beranjak memasuki bis. Mariya masih terkejut. Bahkan ia telat mengiyakan jawaban Darma ketika telah masuk bis. Diluar ia mengamati gerak-gerik pujaan hatinya yang kemudian memilih duduk persis dekat candela. Mariya tersadar bahwa seharusnya ia mengatakan sebagaimana biasa dilakukan untuk orang yang hendak bepergian. Hati-hati. Melambaikan tangannya. Sementara laki-laki berambut gondrong dibalik kaca bis hanya tersenyum sederhana kearahnya. Kepergian bis itu semakin membuatnya lemas dan sesak. Ia terus menatap pantat bis yang ditumpangi oleh Darma hingga tak bisa dijangkau lagi oleh mata.

    Seperti biasanya Mariya menjalankan aktifitasnya sebagai mahasiswa dan segenab kesibukannya di berbagai organisasi yang ia follow. Begitu juga hubungannya dengan Darma juga masih berlanjut. Meski hanya lewat via ponsel. Bahkan Darma sering membuat hati Mariya mekar tak karuan lantaran kepuitisan dan syair-syair indah yang dilantunkan oleh Darma. Ya begitulah, suaranya memang merdu, maka tak heran jika dirinya menjadi penyanyi caffe dan berbagai undangan lainnya. Teringat lagu "aku disini dan kau disana hanya memandang langit yang sama" yang dinyanyikan oleh RAN dan sempat popular kala itu. Dua bulan lebih Mariya dan Darma betah menjalin hubungan Long Distance Relationship atau lebih popular disingkat jadi LDR.

Ketika buih-buih asmara telah mengalir kedalam dua hati yang menyatu, maka gugurlah istilah kata pacaran untuk meresmikan sebuah hubungan mereka. Inilah gaya pacaran keduanya. Tanpa adanya akad untuk menjelaskan apakah mereka memiliki status pacaran. Lantas tak heran jika Mariya bebas mengekspresikan dengan siapa ia bergaul dan kepada siapa ia membalas chattingan.

Seminggu ini aku sama sekali tak mendengar kabar darinya. Aku sibuk menebak-nebak. Buncah oleh berbagai pertanyaan. Khawatir oleh sebuah duga di hati. Mengapa dia tak sempat melirik chatt ku.

Darmaku ayolah

Pikiranku semakin gersang. Dan lebih menyedihkan lagi ketika aku sedang membuka akun Instagram. Aku melihat instagram Darma online. Tentu itu menjadi tanda Tanya besar.  Bosankah Darma dengan Aku?. Dan yang lebih menggelikan lagi ketika keesokan harinya aku memergoki nama akun Instagram miliknya berada di kolom komentar unggahan photo perempuan dengan balutan pakaian yang kurang pantas.

Oh Tuhan, diakah Darmaku.   

Angin dingin menerpa tubuhku. Kerinduan merasuk ke pori-poriku. Aku tak yakin. Aku tergugu. Bahasa komentarnya tak kukenali. Namun  itulah kenyataannya. Aku teringat jalinan hubunganku dengan Yuda. Laki-laki yang sempat memperkenalkan ku kepada kedua orang tuanya, hobi mabuk-mabuk an, dan dia yang selalu aku ingatkan sholatnya. Lalu kemudian memblokir pertemanan dengan ku di akun BBM setelah kejadian derasnya hujan di kala sore itu. Disitu juga aku menganggap hubunganku selesai dengan dirinya. Dan kisah ni tak ada bedanya dengan kisah ku dan Darma. Aku terjebak dikisah yang sama.  Ya, komentar itu kian menjadi kemantapanku untuk tak lagi bersamanya.

Dadaku terasa sesak. Kepalaku pening, Mulutku kering, Langsung saja bibirku menyeruput air mineral dalam botol sedikit demi sedikit untuk menghematnya. Aku semakin sadar aku tak pantas untuk mengenalinya lebih dalam. Aku minder. Aku benci menunggu. Aku butuh kepastian. Mana cinta yang membebaskan itu. Toh kenyataannya pahit. Aku tak bisa mengekspresikan kesempurnaan cintaku.

Orang bilang, cinta yang membebaskan adalah cinta yang membebaskan bergaul dengan siapa saja, menyerahkan seluruh kepercayaannya terhadap pasangannya, membebaskan model baju apa yang disukai. Lain halnya dengan definisiku yang mengatakan bahwa cinta yang membebaskan ialah cinta tanpa akad kamu dan aku resmi pacaran. Cinta yang  berada jauh disana. Membebaskan dengan siapa, dimana, apa yang aku lakukan. Dan yang lebih menyedihkan lagi dia tak lagi merindukan aku.

Bukan itu cinta yang kubutuhkan!

Hingga pada akhirnya aku lebih memilih perjodohan yang diusulkan ayahku ketimbang Darma yang meminta balik dengan aku persis sehari  sebelum janji suci terikat melelui ijab Kabul.



Sebuah Bukti

    Hari ini hari Minggu, waktunya Nisa untuk latihan taekwondo di gedung olahraga kampusnya. Namun, hari ini turun hujan dengan lebat, tapi Nisa tidak mengurungkan niatnya untuk latihan taekwondo.Ya begitulah dirinya, Annisa Farnaz Shafana yang kerap dipanggil Nisa atau Ica yang merupakan Mahasiswi jurusan Arsitek yang memiliki bakat di bidang Taekwondo.Tinggal bersama Ayahnya dan pembantu rumah tangga, Bi Irna.Ibunya telah meninggal 2 tahun yang lalu akibat mengidap penyakit leukimia. Keadaan tersebut sungguh membuat Nisa sangat terpukul dan larut dalam kesedihan. Kini ia hanya memiliki Ayahnya, tak memiliki saudara sebab ia anak sematawayang. Setelah lulus SMA, ia bangkit dari kesedihannya dengan cara menggeluti bidang Taekwondo. Sejak kepergian Ibunya pula, Ayahnya menjadi Ayah yang menjadi over protective. Semua yang ingin Nisa lakukan menjadi terbatas.

    "Bi… Ica pergi latihan dulu ya. Nanti kalo Ayah nanya, bilang aja aku ada di gedung olahraga kampus.."ujar Nisa sembari memakai jaket.
" Tapi ini lagi hujan toh ndok…" Bi Irna malah menjadi khawatir
" Ah biasa aja, Fisik anak taekwondo mah kuat… haha..pergi dulu Bi.. Dahh" ucap Nisa seraya pergi dari rumah.
Sesampai di Gedung Olahrga, Nisa langsung pergi ke unit Taekwondo dan memulai latihannya seorang diri, bergulat dengan samsak favoritnya.
"Asik bener. Lembur nih mbak?" ucap Dhea yang tiba-tiba datang ke Unit Taekwondo bersama Wira.
"Anak rajin… Nih kita ada berita baik buat lu" sambung Wira
Nisa pun terdiam ketika mendengar perkataan Wira.
"Berita apa ? Aku dapet samsak baru ? Asik…"
"Ge-er nih si mbak. Ada peluang nih buat kita untuk ikut kejuaraan nasional" ujar Dhea
" Dan lu dipercaya buat ikut kejuaraan itu sebagai perwakilan" sambungWira
"Eh, serius ? tapi gue kudu izin ama Ayah gue dulu Wir, tau kali Ayah gue kayak gimana" Nisa sangat antusias ketika mendengar berita itu, namun di lain sisi ia harus mendapatkan izin dari Ayah.
"Kalo dia ga kasih lu izin gimana Nis?" tanya Dhea
Nisa terdiam sejenak.
"Liat nanti…" jawab Nisa sembari kembali memukul samsak favoritnya.                                    ***
    Kesempatan kejuaraan tingkat Nasional terus terngiang-ngiang di kepala Nisa. Kesempatan besar menantinya namun ada halangan yang menantinya. Yaitu izin dari Ayah. Saat ini waktu yang tepat, Nisa dan Ayah tengah menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga. Nisa langsung teringat dengan kesempatannya di kejuaraan tingkat Nasional itu.
"Mmm… Yah…" Nisa mencoba memanggil Ayah yang tengah fokus menonton acara TV.
" Iya ca? Kenapa sayang ?" tanya Ayah sembari menatap wajah anak sematawayangnya itu.
" Ica dapet kesempatan buat ikut kejuaraan di tingkat Nasional. Ica ikut ya? Lumayan yah kalo menang. Dapet beasiswa, biaya kuliah terjamin pokoknya enak deh." Bujuk Nisa
"Bisa gak kamu cukup ikut latihan aja di kampus nak? Kalau ikut kejuaraan, otomatis kamu harus latihan lebih keras, nanti kuliah kamu terbengkalai. Lagipula, masa depan seorang PNS kayak Ayah lebih terjamin kan nak…" ujar Ayah sambil mengusap rambut Nisa
"Tapi Ica ga suka kalo Ica jadi PNS yah, Ica mau jadi atlit Taekwondo. Ayah ga usah khawatir soal masa depan aku yah…"
"Ica mau ikut kejuaraan itu, Ayah ga akan tau Ica bisa atau engga di Taekwondo kalo Ayah ga pernah kasih Ica kesempatan dan mencoba liat Ica kalo Ica tanding…"jelas Ica sambil pergi ke kamar tidur nya.
    Ayah hanya terdiam dan memikirkan nasib Anaknya kelak kalau Anaknya terjun di bidang olahraga.
"Kasih ia kesempatan dulu pak…" ujar Bi Irna
"Kalau bapak cinta sama Ica, jangan kekang dia pak…Biarin aja dia sering latihan sama teman-temannya. Percaya sama Ica pak, dia anak yang baik kan…" sambung Bi Irna
Ayah hanya mengangguk angguk. Yang sebenarnya Ayah inginkan adalah yang terbaik untuk Nisa, ingin masa depan anaknya terjamin, mengikuti jejaknya untuk menjadi PNS.
                        ***
"Eh Nis, hari ini jadi latihan lagi kan?" tanya Dhea
"Iya jadi" jawab Nisa
"Pak Bambang udah nanyain lu aja tuh soal kejuaraan itu. Dan gimana soal izin Ayah lu?" Dhea menjadi kepo
" Dia gak kasih gue izin. Tapi ini satu satunya jalan buat gue buktiin ke beliau kalo gue bisa Dhe. Yaudah lah gue ikut aja dah." Kata Nisa
"Etdah ? Lu nekat nih ? Yakin ?" tanya Dhea panik
"Iya, gue mau buktiin ke Ayah gue. Gue capek dikekang mulu sejak Ibu udah gak ada. Dia cinta sama gue, tapi gue malah ga bisa ngerasain cintanya dia. Seharusnya dia dukung gue. Harusnya cinta itu membebaskan apa yang kita mau selagi itu baik …" tutur Nisa
    Dhea hanya mengangguk dan hanya dapat mendukung apa yang Nisa lakukan saat ini. Begitulah keputusan Nisa, nekat ikut kejuaraan tingkat Nasional tanpa peduli lagi izin dari Sang Ayah. Di kesempatan ini ia akan membuktikan kalau menjadi atlit olahraga tak kalah hebat dengan PNS, ia ingin masa depan ditentukan ia sendiri dan mendapat dukungan dari Ayah. Resiko sudah pasti ada, Ayah akan marah besar bila ia tahu, Nisa sudah siap dengan itu, namun ia akan bertekad untuk memenangkan kejuaraan itu sebagai bukti pada Ayahnya. Selama ini, Ayah selalu mengkekang Nisa untuk pergi kemana-mana, harus pulang lebih awal, tidak boleh latihan terlalu sering, atau terkadang tidak boleh ikut pergi bermain dengan teman-temannya walau dirinya sudah berusia 18 tahun. Ia pikir ini adalah misi penting yang mana ayah tak boleh tahu kalau dirinya nekat mengikuti kejuaraan itu. Latihan taekwondo pun lebih ekstra, begitu pun dengan latihan fisik, Nisa sudah mengatur semua waktu latihan agar Ayah tidak curiga.
Ketika Nisa dan Bi Irna tengah asyik memotong sayur-sayuran untuk makan siang, Ayah datang menghampiri mereka seraya mengambil roti tawar serta selai kacang yang ada di meja makan.
"Wih, lagi sibuk buat masak nih? Tumben kamu bantu Bi Irna ca…"gurau Ayah
"Aku kan emang rajin ya Bi…" balas Nisa sambil tertawa kecil
"Ca, Ayah ada ide bagus untuk kamu. Kan kebetulan pendaftaran CPNS udah dibuka, kamu ikut daftar ya. Semoga jadi PNS kayak Ayah…" usul Ayah sambil memakan roti
    Jelas, Nisa tidak menyukai usul Ayah yang satu ini, karena bertentangan dengan impian Nisa, menjadi atlit olahraga. Ia hanya terdiam dan memegang erat tangan Bi Irna. Bi Irna hanya tersenyum tipis, menarik napas dan menganggukkan kepalanya, yang maksudnya agar Nisa mengikuti dulu kemauan Ayah.
"I…iya yah…" jawab Nisa dengan keyakinan yang masih setengah
"Nah oke deh, Ayah langsung daftarin dulu ya…" jawab Ayah gembira sambil pergi ke ruang kerjanya
"Udah ndok, ikutin aja dulu. Ayahmu cuma pengen kamu punya masa depan yang baik. Kalo kamu yakin Taekwondo adalah satu satunya masa depan kamu, buktikan ke Ayah dari sekarang… Bi Irna doakan yang terbaik buat kamu ndok…" jelas Bi Irna
"Makasih banyak Bi, Ica jadi kangen Ibu…" ujar Nisa sambil memeluk Bi Irna, yang rasanya seperti memeluk Ibu. Entah kapan terakhir kali ia memeluk Ibu seperti ia memeluk Bi Irna.
Bi Irna hanya mengusap usap lengan dan rambut Nisa sambil tersenyum.
    Kini Nisa bertambah semangat untuk memenangkan kejuaraan itu, tentu ia tak ingin kalah dan kelak malah menjadi PNS seperti Ayah. Usaha, do'a serta motivasi selalu ada pada diri Nisa. Semakin hari ia semakin semangat dan latihannya pun tak main-main.
"Semangat Nis !, lu kudu menang kan biar gak jadi PNS ? Haha bercanda…" gurau Wira
"Lu pasti bia Nis, buat semua orang bangga, termasuk Ibu lu…" Dhea ikut memberi semangat kepada Nisa yang tengah latihan di Unit Taekwondo.                                        ***
    Dan sampailah pada hari yang ditunggu-tunggu, Nisa sudah 100% siap untuk tanding di kejuaraan tingkat Nasional. Beribu pasang mata akan hadir dan mendukung setiap tim yang menjadi perwakilan. Nisa tidak memberitahu pada Ayah kalau hari ini, hari Rabu, ia akan bertanding di kejuaraan tingkat Nasional. Namun Bi Irna tau akan hal ini. Bila ia menang, kemenangannya akan menjadi kejutan dan bukti yang nyata bagi Ayahnya, dan bila ia kalah, mungkin ia terpaksa harus mengikuti tes CPNS dan menjadikan peristiwa ini menjadi pengalaman terbaik.
"Lakukan yang terbaik nak." Ujar pak Bambang sambil menepuk pundak Nisa
Nisa hanya mengangguk dengan penuh keyakinan. Dan setelah menunggu giliran, akhirnya waktunya ia bertanding. Babak penyisihan serta babak final pun telah Nisa lewati. Dan hasilnya, Nisa tidak dapat 3 terbaik, ia menjadi terbaik ke-4. Sungguh rapuh hati Nisa pada saat itu, walaupun Pak Bambang, Dhea, Wira atau teman-teman lainnya tetap bangga padanya. Ia merasa gagal untuk memberikan bukti yang ia janjikan waktu itu. Namun kemenangan berpihak pada Nisa, peserta yang menjadi juara ke-3 didiskualifikasi akibat terdapat kecurangan dalam bertanding, dan otomatis Nisa maju menjadi juara ke-3. Sungguh keajaiban yang tak terduga, walaupun ia belum bisa menjadi juara pertama. Akhirnya ia akan pulang dengan bukti yang ia janjikan waktu itu. Bi Irna pasti akan bangga. Semua teman-teman Taekwondo Nisa ikut bahagia, juga Pak Bambang. Pertandingan ini telah disiarkan di beberapa stasiun televisi, Bi Irna pasti menonton Nisa ketika ia bertanding. Akhirnya ia akan pulang dengan bukti yang ia janjikan waktu itu.
                        ***
Di Kantor Ayah Nisa…
"Pak, selamat ya pak…"
"Saya turut bangga dengan Nisa pak.."
"Sampaikan salam buat Nisa ya Pak…"
Sekiranya kata-kata itu yang Ayah Nisa dapatkan di Kantor, ia tak tahu apa yang terjadi padanya maupun pada Nisa, ia pun segera pulang ke rumah untuk mencari tahu apa yang terjadi.
                        ***
"Ayah, Nisa pulangggg" ujar Nisa dengan senang sambil membawa buket bunga dan kalung medali yang ada di lehernya
"Abis darimana ? tumben pulang telat" tanya Ayah
" Temen kantor ayah bilang selamat gitu buat kamu. Emang kamu abis ngapain ca?" ayah bertanya lagi.
"Aku menang di kejuaraan tingkat nasional yang waktu itu aku bilang ke Ayah. Udah aku bilang kan yah, aku bisa. Ini semua buat ayah dan ibu…" jelas Nisa
" Kamu ikut kejuaraan itu? Ayah gak setuju dari awal tapi kenapa kamu nekat sih? Ayah udah kasih tau, masa depan seorang PNS jauh lebih baik Ca… "
"Oh, pantes kamu selama beberapa bulan belakangan pola makan sangat dijaga, latihan setiap pulang kuliah. Kamu masih belum ngerti kenapa Ayah kayak ginin Ca?" tanya Ayah
"Ayah, Ica Cuma mau buktiin ke Ayah kalo masa depan Ica adalah Taekwondo, gak ada salahnya yah aku geluti bidang Taekwondo. Kalo Ibu masih ada, Ibu pasti dukung aku yah. Engga kayak Ayah…" jelas Nisa sambil menatap Ayah
Suasana rumah menjadi tegang, Bi Irna tidak bisa berbuat banyak, karena ia pikir ini adalah masalah keluarga yang tidak bisa diikutcampuri olehnya. Bi Irna hanya berharap Nisa mendapatkan yang terbaik.
"Ayah bilang kalau Ayah cinta sama Ica. Tapi Ica gak bisa merasakan cinta ayah. Sejak Ibu meninggal, Ayah berubah. Aku mau latihan, aku mau pergi atau apapun selalu dibatasi, diawasi dengan ketat, aku gak bisa bergerak bebas, aku terkekang yah… Cinta seorang Ayah seharusnya membuat anaknya merasa aman didekatnya, mendukung apa yang anaknya lakukan. Bukannya malah seperti ini, Ica mau ikut taekwondo, ayah larang, Ica malah harus ikut tes CPNS. Cinta itu yang membuat kita bebas dan nyaman, bukan terkekang yah… Aku iri sama temen-temen yang bisa pergi kesana sini buat ikut penelitian lah, lomba atau apapun. Ica sudah besar yah…" jelas Nisa sambil menangis karena tak tahan dengan sikap Ayahnya yang mengekangnya.
Ayah pun terdiam mendengarkan keluhan Nisa yang selama ini ia rasakan karena perbuatan Ayahnya sendiri.
" Dan alasan Ica nekat ikut kejuaraan ini, karena Ica bener-bener mau buktiin ke Ayah kalau masa depan seorang atlit Taekwondo itu ga seburuk yang ayah pikirkan. Banyak peluang di bidang olahraga yah… Walau Ica belum bisa dapat juara ke-1, seenggaknya Ica meraih juara ke-3, dan semua ini menjadi bukti ke Ayah kalau Ica bisa menentukan masa depan Ica sendiri, dan Ica juga bisa bergaul dengan teman-teman selagi itu baik tanpa harus dibatasi dengan berlebihan. Karena Ica bukan anak kecil lagi, Ica harus mencari jati diri Ica ayah… Ica pikir dengan juara tingkat nasional, Ayah akan bangga. Ternyata semua itu salah.." ujar Nisa dengan nada sedih.

"Ica tau ? kenapa Ayah melakukan ini semua sama Ayah ? Ayah pikir Ica tau lah ya, karena sudah berkali-kali Ayah kasih tau alasan Ayah mengarahkan masa depan kamu untuk jadi PNS macam Ayah. Tapi kamu gak tau kan nak kenapa Ayah menjadi over protective gini?" tanya Ayah pada Nisa
Nisa hanya menggelengkan kepala sambil mengusap air mata yang ada di pipinya.
"Sebelum Ibumu wafat, Ia sempat berpesan sama Ayah buat menitipkan kamu sama Ayah. Ibumu minta supaya Ayah lebih menjaga kamu kalau Ibu kamu udah pergi, terlebih kamu satu-satunya harta kami yang paling berharga. Ibumu minta jangan sampai Nisa lalai dengan masa depannya,Ibumu mau supaya masa depan kamu terjamin, pengen kamu diberikan yang terbaik dari Ayah, selalu bahagia dan bisa jadi kayak Ayah. Itu nak… Makanya sejak Ibumu meninggal, Ayah selalu mengingat pesan terakhirnya, dan Ayah akan berusaha menepatinya. Jujur Ca, Ayah Cuma pengen yang terbaik buat kamu, orang tua mana yang gak mau anaknya jadi orang hebat?" jelas Ayah
"Kamu bener-bener membuktikan tekadmu ya nak di bidang Taekwondo.Ayah pikir kamu sudah dewasa sekarang, jadi kamu bisa mabil keputusan yang tepat untuk masa depan kamu. Bi Irna banyak memberi Ayah pencerahan, hehe. Jadi, sekarang Ayah gak akan maksa kamu buat jadi PNS lagi, karena setiap orang punya minat dan bakat yang berbeda. Ayah hanya bisa mendukung kamu dengan penuh sekarang. Ayah bangga sama kamu Ca, Ibumu juga pasti bangga. Maafin a-"
Ketika hendak melanjutkan perkataan, Nisa memeluk Ayah dengan senyuman manis karena Ayah akan mendukung minatnya di bidang Taekwondo.
"Makasih banyak Ayah, maafin Ica suka bandel dan nekat ikut kejuaraan itu…"ucap Nisa
"Ayah juga ga akan membatasi kamu dalam bergaul selagi kamu bisa jaga diri. Yang penting kamu bahagia Ca…" jelas Ayah sambil mengusap rambut Nisa
"Dan, ayah tau? Karena Ica juara ke-3 Ica dapet undangan dari Bapak Presiden buat ikut kejuaraan Taekwondo di tingkat Internsionalll. Ica juga dapet beasiswa yah… Dan banyak lagi…" tutur Nisa dengan bangga
"Ayah  bangga sama kamu nak… Terus kejar mimpi kamu ya. Kini, cinta ayah adalah cinta yang membebaskan. Membebaskan kamu mengukir mimpi, cita-cita dan segalanya." Jawab Ayah.
Akhirnya keadaan menjadi kembali tenang, Bi Irna turut senang melihat Ayah dan anak yang saling mendukung tanpa adanya lagi perselisihan tentang masa depan.
"Bi Irna, makasih banyak atas segalanya ya Bi" ucap Nisa sambil memeluk Bi Irna
"Iya ndok, selamat juga ya atas keberhasilannya, gak sia-sia deh kamu latihan hehe. Semangat buat kejuaraan internasionalnya ya ndok. Nanti Bi Irna gabisa ikut dampingin,soalnya nanti rumah ga ada yang jaga, Bi Irna juga takut ah pergi ke luar negri, jauh banget…" gurau Bi Irna
"Haha, Bi Irna bisa aja nih, yauda liat lewat TV rumah aja yaaa" jawab Nisa
"Kali ini Ayah ikut dampingin kamu, kalo tadi Ayah ga dampingin kamu juga karena gak tau kan. Hehehe" ucap Ayah

Begitulah sekiranya, Ayah telah merubah pikirannya tentang membesarkan anak sematawayangnya itu. Memberikan cinta, cinta yang membebaskan anaknya untuk menggapai mimpi dan mendukung anaknya untuk meraih masa depan yang cerah. Nisa yakin, kedua temannya, Dhea dan Wira akan senang mendengar keputusan Ayah. Dan Nisa berharap Ibu benar-benar bangga padanya dan bangga pada Ayah karena telah menjadi Ayah sekaliguh menjadi Ibu yang memberikan cinta yang amat besar.

Salsabilla ayudya